APNI: Indeks Harga Nikel Indonesia Rampung Akhir 2023
APNI undang LME hingga SMM untuk bikin harga acuan nikel RI.
Jakarta, FORTUNE - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan indeks harga acuan nikel Indonesia (Indonesia Nickel Price Index) akan meluncur pada 2024.
Ia mengatakan pemerintah telah meminta asosiasinya untuk merampungkan formulasi harga acuan tersebut pada akhir tahun ini.
"Penghitungan metodologinya masih kami bahas, tapi pemerintah minta tahun ini selesai. 2024 harus segera direalisasikan," ujarnya di Hotel Grand Sahid Jaya, Selasa (1/8).
Meidy menyatakan harga acuan nikel Indonesia dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kesenjangan harga antara penambang dan pengusaha smelter. Selama ini, penambang mengikuti harga patokan mineral (HPM) yang dikeluarkan pemerintah dengan mengacu pada London Metal Exchange. Formulanya didasarkan pada rata-rata tren harga nikel di bursa tersebut selama dua bulan ke belakang.
Sementara, pengusaha smelter di Indonesia yang memproduksi nickel pig Iron (NPI) dan Feronickel (FeNI) menjual produknya menggunakan basis Shanghai Futures Exchange (ShFE). "Jadi gap [harganya] sekitar 35 persen," ujarnya.
Kesenjangan harga tersebut, menurut Meidy, membuat perselisihan antara penambang dan pengusaha smelter terus terjadi di Indonesia. Padahal, sebagai pemain dominan di pasar nikel global, Indonesia memiliki posisi yang kuat untuk menciptakan harga patokan sendiri.
"Kalau [pecah] konflik terus antara penambang dan smelter, akan terjadi keributan," katanya.
Kini, kata Meidy, tantangannya adalah merumuskan metodologi formulasi yang tepat dalam penentuan harga tersebut. Harga yang tepat dimaksud itu bukan hanya dari sisi produsen (penambang), melainkan juga pengguna (user) maupun trader.
"Di produk ini, kita masih butuh market luar [negeri]. Bagaimana tantangannya agar harga kita diterima. Nah, harga kita diterima itu baik produsen, user, trader, semua diperhitungkan. Makanya kita mengundang LME, Shanghai Metals Marcket, dan beberapa expertise yang sudah biasa menghitung seluruh komoditas," ujarnya.
Tantangan lain
Dalam kesempatan tersebut, Meidy juga mengatakan bahwa tantangan lain pengusaha nikel di Indonesia adalah masalah-masalah yang berkenaan dengan enviromental, social and governance (ESG). Pasalnya, sejumlah investor menaruh perhatian besar dalam praktik ESG pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia dalam rencana investasi mereka.
"APNI diundang di beberapa negara. Mentoknya kita dengan investor-investor Eropa-Amerika itu dari sisi ESG," ujarnya.
Isu lain yang juga menjadi tantangan adalah eksplorasi sumber-sumber cadangan baru. Sebab, kebutuhan nikel untuk fasilitas pengolahan di Indonesia kian besar. Sampai hari ini, terdapat 53 smelter pirometalurgi (RKEF) dengan 179 tungku pembakaran (furnace) yang beroperasi di Indonesia, dan empat fasilitas hidrometalurgi (HPAL) di Indonesia.
"179 furnace tahun ini membutuhkan 170 juta ton bijih nikel. Jadi, bisa dibilang penambang lagi di atas angin. Kenapa? Karena over-demand. Kalau tahun-tahun kemarin, masih ada ilegal mining yang 30 persen. Tahun ini tidak ada lagi. Kita lagi bersih-bersih," katanya.