Beberkan Alasan Tak Mau 'Lockdown', Jokowi: Ekonomi Bisa Minus 17%
Jokowi sebut 80% kabinet justru setuju lockdown.
Jakarta, FORTUNE - Presiden Joko Widodo mengaku bersyukur tak melakukan lockdown atau karantina wilayah saat pandemi pertama kali merebak di Indonesia. Ia mengatakan langkah untuk melakukan pembatasan sosial tepat dan tak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, dan politik di dalam negeri.
Dari sisi ekonomi, misalnya, ia memprediksi kebijakan lockdown akan membuat koreksi ekonomi menjadi lebih dalam dari -2,07 persen pada 2020, dan turun lebih dari -5,32 persen pada kuartal kedua tahun yang sama.
"Saya enggak bisa bayangkan kalau saat itu kita lockdown, mungkin kita akan masuk ke minus lebih dari 17 persen," ujarnya saat membuka Sarasehan 100 Ekonom Indonesia "Normalisasi Kebijakan Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia", Rabu (7/9).
Keputusan untuk tidak melakukan lockdown, menurutnya, bukan tanpa penolakan.Keberatan bahkan juga datang dari anak buahnya sendiri di kabinet. Kondisi lain yang membuatnya cukup gamang adalah lantaran lebih dari 70 negara di awal pandemi telah mengambil kebijakan karantina wilayah.
"Saya enggak bisa memperkirakan kalau kita saat itu melakukan lockdown. Berakibat kepada ekonomi seperti apa, berakibat kepada sosial politik yang seperti apa," kata Presiden Jokowi.
"Kabinet sendiri 80 persen mintanya lockdown. Survei juga lebih dari 80 persen rakyat mintanya lockdown. Tapi saat itu saya semedi. Saya endapkan benar apakah betul, apakah benar, kita harus melakukan itu, dan jawabannya saat itu saya jawab: tidak usah lockdown," ujarnya.
Hikmah dari pandemi
Jokowi juga menyampaikan bahwa pandemi memberikan banyak pelajaran bagi pemerintah mengenai bagaimana menghadapi guncangan-guncangan global. Salah satunya, ihwal bagaimana mengonsolidasi seluruh aparatur negara negara dari pusat, provinsi, sampai ke tingkat RT/RW, serta menggandeng ormas untuk bergabung dengan TNI/Polri bergerak bersama-sama.
Menurutnya, konsolidasi seperti itu yang harus terus diperkuat saat ini untuk menghadapi tantangan pasca pandemi mulai dari konflik geopolitik yang berujung pada perang, krisis energi, krisis pangan, bahkan mungkin juga krisis finansial.
"Yang paling penting kita bisa mengkonsolidasi dari atas sampai bawah. Karena saya meyakini lanskap politik global akan berubah dan bergeser. Lanskap ekonomi juga akan berubah dan bergeser. Ke arah mana? Ini yang belum ketemu," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden juga berpesan kepada para ekonom yang hadir untuk tidak terpaku melihat kondisi ekonomi dengan pakem-pakem yang sudah ada. Sebab, kondisi yang dihadapi berbagai negara saat ini sangat berbeda dan tidak normal.
Bahkan, untuk merespons gejolak yang muncul dari aras geopolitik global, instrumen fiskal dan moneter yang dimiliki pemerintah terkadang tidak cukup.
"Dibutuhkan pemikiran yang 'Abunawas', yang kancil-kancil, agak melompat-lompat tapi memang harus seperti itu. Bekerja sekarang pun tidak bisa makro saja, tidak bisa. Ditambah mikro pun mungkin masih juga belum dapat. Sehingga makro iya, mikro iya, detail, fokus. Ketemu nanti. Tapi satu-satu, enggak bisa sekarang ini," ujarnya.