BI Ramal Rupiah Berkisar Rp14.600–15.100 per US$ pada 2024
Suku bunga Fed kemungkinan masih naik hingga akhir 2023.
Jakarta, FORTUNE - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memperkirakan nilai tukar rupiah pada 2024 akan berkisar pada Rp14.600–15.100 per US$. Asumsi nilai tukar rupiah tersebut lebih rendah dari proyeksi pemerintah yang berkisar pada Rp14.700–15.300 per US$.
"Kami perkirakan rata-rata nilai tukar rupiah Rp14.800-15.200/US$ dan akan menguat pada 2024," jelasnya dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI, Selasa (30/5).
Dalam kesempatan tersebut, Perry juga menyampaikan bahwa neraca pembayaran Indonesia (NPI) diperkirakan akan tetap surplus dengan kecukupan cadangan devisa yang terus meningkat. Surplus NPI akan didukung oleh surplus dari neraca perdagangan dan jasa di tengah peningkatan kinerja ekspor.
Perry memastikan BI terus berkomitmen menjaga stabilitas rupiah termasuk dalam hal intervensi valuta asing. "Demikian juga kami bersama Menkeu menstabilkan SBN bahkan juga terus meningkatkan devisa hasil ekspor melalui instrumen kami," ujarnya.
Selain itu, kerja sama transaksi mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) dengan negara lain akan terus diperkuat. "Secara keseluruhan neraca pembayaran akan tetap surplus tahun ini dan akan mendukung nilai tukar yang stabil bahkan cenderung menguat," kata Perry.
Demikian pula dengan aliran modal asing, khususnya penanaman modal asing langsung atau foreign direct investment. "Aliran modal asing di portofolio juga membaik meskipun juga masih ada volatilitasnya, dan cadangan devisa kami US$144,2 miliar lebih dari cukup untuk menjaga stabilitas dari kondisi eksternal kita," ujarnya.
Hingga 24 mei 2023, rupiah menguat 4,48 persen dibandingkan dengan akhir 2022, kata Perry. Meski demikian, beberapa pekan terakhir ini nilai tukar rupiah tertekan karena meningkatnya ketidakpastian kondisi global.
Kondisi ekonomi global
Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi global hingga saat ini memang masih dihadapkan pada ketidakpastian, dengan angka pertumbuhan mencapai 2,7 persen tahun ini dan meningkat menjadi 2,8 persen pada 2024, terutama didukung oleh perekonomian Tiongkok dan India, dan sejumlah negara di Asia.
Sementara di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, masih terlihat tanda-tanda perlambatan ekonomi, hingga risiko resesi.
Inflasi cenderung menurun di negara-negara berkembang, berbeda dari kondisi inflasi negara maju yang penurunannya relatif sangat lambat karena masalah ketenagakerjaan maupun masalah lain pada sektor suplai.
Kondisi tersebut mendorong suku bunga di negara maju masih akan tinggi di tahun ini. "Kami perkirakan Fed Fund Rate 5,5 persen itu akan tetap berjalan sampai dengan tahun ini," kata Perry. "Untuk Juni ini FOMC kami perkirakan probabilitas Fed Fund Rate untuk naik itu tidak terlalu besar."