BKF: Tak Semua Smelter Dapat 'Tax Holiday' dari Pemerintah
Pemerintah evaluasi fasilitas diskon dan libur pajak.
Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan pemerintah tengah mengevaluasi kebijakan belanja pajak (tax expenditure) untuk sektor pionir seperti industri smelter.
Pasalnya, pemerintah perlu mengetahui apakah obral insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance sudah termanfaatkan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang didesain.
Menurut Febrio, sejauh ini belum semua smelter menikmati fasilitas tersebut.
"Kemarin ada beberapa puluh smelter, enggak semua juga menggunakan tax holiday. Tapi nanti kita lihat seperti apa besaran tax expenditure yang sudah dinikmati sektor pionir tersebut nanti kita coba evaluasi lagi," ujar Febrio ketika ditemui di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Rabu (16/8).
Pernyataan tersebut juga menepis anggapan yang dikemukakan ekonom senior Faisal Basri bahwa semua smelter nikel menikmati fasilitas tax holiday dari pemerintah dan " tak satu persen pun keuntungan [smelter nikel] itu mengalir ke Tanah Air."
Data BKF menunjukkan porsi terbesar belanja pajak pemerintah dalam kurun 2018–2022 berasal dari sektor industri pengolahan.
Pada 2021, misalnya, porsinya mencapai Rp72,1 triliun (24,10 persen), sementara 2022 diproyeksikan mencapai Rp70,27 triliun (23,7 persen).
Untuk mendukung hilirisasi nikel dan industri kendaraan listrik, pemerintah telah memberikan berbagai dukungan dan kemudahan melalui instrumen perpajakan yang diberikan pada berbagai tahap dalam rantai industri berupa fasilitas tax holiday dan tax allowance sejak tahap pertambangan dan refinery.
Namun, dalam Laporan Kerangka Ekonomi dan Pokok-pokok kebijakan fiskal 2024, pemerintah juga menyatakan perlunya dukungan tambahan untuk mengurangi beban investasi awal dan mendukung pengembangan ekosistem baterai.
Langkah tambahan yang dapat dilakukan meliputi subsidi investasi, hibah atau pinjaman, diskon pajak untuk R&D bagi produsen baterai, dan pendanaan untuk pelatihan kejuruan, pendidikan STEM untuk mendukung tenaga kerja baterai.
Di luar itu, dukungan operasional juga diberikan pemerintah, meliputi diferensiasi tarif royalti, pengurangan PPN hingga 1 persen, pembebasan pajak barang mewah untuk mobil listrik, bea masuk untuk mobil dan komponen (hingga 50 persen untuk mobil, 7,5 persen untuk completely knock down (CKD), dan 10 persen untuk suku cadang.
Belanja pajak untuk usaha lebih besar ketimbang rumah tangga
Febrio pun menjelaskan bahwa belanja pajak pemerintah sejauh ini masih cukup kuat, yakni berkisar 1,5–1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) tiap tahun.
Jika dilihat berdasarkan subjek penerima manfaatnya, menurut Febrio, UMKM menjadi subjek belanja pajak yang cukup tinggi.
"Itu sekitar Rp60-an triliun tiap tahunnya [untuk UMKM]. Itu yang tadi kita bahas bagaimana mereka dapat tarif pajak lebih rendah, bahkan misalnya [omzet] Rp500 juta itu bebas PPh," ujarnya.
Pun demikian, jika dilihat berdasarkan laporan 2021, usaha multiskala mendapatkan belanja pajak lebih besar ketimbang UMKM dengan total Rp99,3 triliun, sedangkan UMKM hanya Rp69,0 triliun.
Secara umum, dunia usaha mendapatkan belanja pajak lebih besar ketimbang rumah tangga, dengan persentase 56,3 persen vis a vis 43,7 persen, dengan nilai masing-masing Rp168,3 triliun dan Rp130,8 triliun. Artinya, pemerintah masih memberikan pengurangan pajak lebih besar kepada pengusaha ketimbang rumah tangga.