Faisal Basri: Ekonomi Indonesia Ditopang Otot, Bukan Otak
TFP Indonesia kalah jauh dari Cina hingga Malaysia.
Jakarta, FORTUNE - Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan perekonomian Indonesia tidak ditopang oleh kegiatan usaha yang mengandalkan otak, melainkan otot. Perumpamaan itu ia sampaikan dengan melihat data total factor productivity (TFP) atau produktivitas faktor total yang selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi.
TFP—yang kerap disebut sebagai produktivitas multifaktor ini—mengukur rasio antara output total terhadap input total yang merupakan salah satu faktor produksi selain modal dan tenaga kerja. Dus, pertumbuhan yang rendah itu menggambarkan pertumbuhan ekonomi lebih banyak disumbang oleh pertambahan pekerja dan modal, bukan inovasi teknologi yang menghasilkan efisiensi dan produktivitas lebih tinggi.
"Pertumbuhan TFP itu, indonesia secara long term turun terus. Recent periods juga turun terus, bahkan kalah dari Vietnam dan Kamboja. Jadi ini nestapa kita," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk "Catatan Awal Ekonomi Tahun 2023", Kamis (5/1).
Data terbaru, yang dia kutip dari laporan Asia Productivity Organization (APO) 2022, menunjukkan bahwa kontribusi modal non-IT mendominasi hingga 71 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sementara modal IT hanya mencapai 4 persen, tenaga kerja berkualitas 29 persen dan kontribusi jam kerja 16 persen. Hal tersebut membuat TFP Indonesia pada 2022 mencapai -19 persen. Posisi tersebut kalah jauh dari TFP Cina yang mencapai 15 persen, Mongolia 23 persen, Hong Kong 47 persen, Malaysia 12 persen, dan Singapura 20 persen.
"Jadi kita lihat, sumbangan otak terhadap ekonomi Indonesia minus. Sampai 2020, yang minus cuma Laos (-12 persen), Myanmar (-67 persen), Butan (-4 persen), Fiji (-13 persen), Brunei Darussalam (-261 persen). Jadi itu teman-teman kita itu," katanya.
Deindustrialisasi
Rendahnya TFP juga sejalan dengan gejala deindustrialisasi di Indonesia yang ditunjukkan dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB, katanya.
"Jadi ada semacam gejala dini deindustrialisasi. Sektor manufaktur kita mengalami perlambatan sebelum mencapai titik optimumnya. Peranannya terhadap PDB merosot tajam dari level yang belum tinggi, 29,1 persen. Tahun lalu 18,3 persen," ujarnya,
Gejala deindustrialisasi ini juga terlihat dari rendahnya kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor. Mengutip data World Development Indicators yang dirilis Bank Dunia, total ekspor manufaktur terhadap ekspor Indonesia hanya 44,9 persen pada 2021.
Persentase tersebut di bawah Cina yang mencapai 93,6 persen, Korea 89,6 persen, India 86,4 persen, Filipina 81,5 persen, bahkan Malaysia yang mencapai 68,1 persen.
"Padahal industrialisasilah pembentuk kelas menengah yang kuat. Jadi, kalau industri lemah, kelas menengah juga memble. Lapisan buruhnya relatif sedikit. Akibatnya, karena struktur manufaktur lemah, menyebabkan yang bisa kita jual terbatas. Jadi, kita harus makin terus tergantung pada ekspor komoditas, yang hanya membutuhkan upaya otot, tenaga, keringat, kurang pakai otak juga enggak apa-apa," katanya.