Masuk Ekosistem Industri Baterai, Antam Hitung Valuasi Cadangan Nikel
Valuasi nikel tentukan setoran modal Antam ke usaha JV.
Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam, Nico Kanter, mengatakan perusahannya masih menghitung valuasi sumber daya nikel yang akan mereka tambang untuk bahan baku baterai kendaraan listrik (EV Battery).
Pasalnya, valuasi tersebut akan menentukan setoran modal Antam pada dua perusahaan tambang hasil patungan (joint venture) dengan LG Energy Solution dan Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd (CBL)—anak usaha Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL), produsen baterai kendaraan listrik berskala global.
"Posisinya kan Antam nanti untuk di hulunya. Kami akan menandatangani joint venture dengan CBL dan CATL di mana kita sebagai pemilik resources kita tentunya memiliki equity terbesar. Jadi nantinya dalam JV kita akan memiliki 51 persen. Begitu juga dengan LG. Mereka akan memiliki 49 persen," ujarnya dalam rapat kerja di Komisi VI, Senin (12/9).
Menurut Nico, butuh jutaan metrik ton nikel untuk memasok proyek raksasa industri baterai EV yang terintegrasi hulu ke hilir tersebut. Untuk proyek Titan, yang perusahaan patungannya dibentuk bersama LG, misalnya, Antam memerlukan pasokan ore nikel sebanyak 16 juta metrik ton per tahun. Sementara untuk proyek Dragon, bersama CBL, dibutuhkan pasokan ore nikel 16 juta ton per tahun.
Karena itu, valuasi cadangan nikel mereka harus dihitung dengan ekstra hati-hati. Terlebih, hitungan tersebut juga akan menjadi dasar penghitungan modal di perusahaan patungan pada sektor middle stream, yakni smelter yang memproses ore nikel menjadi feronikel dengan teknologi RKAF atau Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan teknologi HPAL.
"Jadi kalau resources, kami akan melakukan valuasi komprehensif. Karena ini jadi modal kita juga. Jadi kita akan melakukan ini dengan dibantu konsultan,dan pada akhirnya sebelum kita mendivestasikan (cadangan) ini akan mendapatkan persetujuan KJPP. Jadi kita akan memvaluasi ini dengan sebaik mungkin," ujarnya.
Saat ini saja, kata Nico, masih terjadi perdebatan dalam proses penentuan valuasi sumber daya nikel tersebut. Ia mengatakan pihak partner menggunakan valuasi berdasarkan international standar yang hanya melihat cadangan (reserve). Sementara Antam ingin penghitungan juga dilakukan dengan mempertimbangkan sumber dayanya (resources).
"Kami mau resources juga yang belum dikonversi harus dihitung. Penghitungannya pakai metode mana ini juga yang masih dikaji dibantu konsultan dan KJPP," ujarnya.
'Spin off' anak usaha
Pada 19 April 2022 Antam dan Indonesia Battery Corporation telah melakukan penandatanganan Framework Agreement dengan CBL dan LG Energy Solution untuk inisiatif proyek baterai kendaraan listrikL Perkiraan total nilai investasi dari kedua mitra ini mencapai US$15 miliar atau setara dengan Rp215 triliun.
Nico menuturkan, setelah penandatanganan framework agreement, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Agustus lalu perusahaanya mendapat persetujuan pemegang saham untuk melakukan spin off dua anak usaha yang bergerak di industri baterai. Dua anak usaha tersebut tidak hanya bergerak di hulu, melainkan juga hingga ke hilir bersama-sama dengan IBC.
Di middle stream, misalnya, mereka akan menggunakan teknologi RKAF ataupun HPAL untuk mengolah bahan baku nikel menjadi produk turunan seperti katoda dan prekursor. Di dalam JV ini, komposisi sahamnya 40 persen dimiliki Antam dan IBC, sisanya 60 persen dimiliki baik itu oleh CATL, CBL, maupun LG. Semakin ke hilir, kata Nico, porsi kepemilikan saham perseroaan di JV akan semakin berkurang karena penguasaan teknologi dan pangsa pasar berada di pihak mitra.
"Karena kita akan mengelola sebagian perusahaan Antam ke anak perusahaan. Jadi anak perusahaan yang dua ini, satu yang dengan CBL itu kita sebut SDA, yang dengan LG Solution kita sebut KSA," kata Nico.