Think Tank Singapura Imbau Bank Tak Biayai CCUS dan Co-firing PLTU
Bank-bank di ASEAN disarankan biayai grid untuk dukung EBT.
Jakarta, FORTUNE - Asia Research & Engagement (ARE), lembaga think tank asal Singapura, dalam studi terbarunya menunjukan bahwa mendanai “teknologi transisi” berbasis energi fosil seperti co-firing batu bara dan amonia akan berdampak negatif terhadap upaya menurunkan emisi.
Studi bertajuk “Banking on Transition Technologies” tersebut meninjau dua panduan pembiayaan transisi di Asia, yakni “Asia Transition Finance Guidelines” dan “Technology List and Perspective for Transition Finance in Asia”.
Dalam tinjauannya, ARE menemukan kedua panduan tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan energi Jepang yang mendorong penggunaan carbon capture utilization and storage (CCUS) dan co-firing amonia pada sektor energi.
Menurut ARE, kedua panduan itu memberi definisi pembiayaan transisi (transition finance) yang kurang tepat, dengan mencampur teknologi energi kotor dan hijau menjadi satu. Karena itu, menurut Kurt Mertzger, Direktur Transisi Energi ARE, panduan yang disusun oleh ATF Study Group dan ERIA ini dapat mengganggu proses transisi energi di Asia Tenggara.
“Bank-bank di Asia memiliki peran krusial dalam memberikan pembiayaan yang diperlukan nasabah untuk melakukan transisi ke model bisnis berkelanjutan dan mencapai target nol emisi pada 2050. Perbankan harus dapat menilai jalur teknologi nasabah masing-masing dengan teliti, membangun standar underwriting untuk setiap teknologi, dan mengevaluasi sesuai konteks rencana dekarbonisasi negara nasabah,” ujarnya, Jumat (3/3).
Menurut ARE, negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam dapat lebih mudah mengakomodasi penambahan kapasitas energi terbarukan dibandingkan Jepang. Asumsi tersebut merujuk pada data dari International Energy Agency (IEA) yang menunjukan bahwa kapasitas energi terbarukan ASEAN akan meningkat hingga 65 persen atau lebih pada periode 2021–2026.
Karena itu, alih-alih membiayai teknologi baru yang berbasis pada energi fosil, bank-bank di Asia Tenggara lebih baik mendukung interkonektivitas dalam sistem ketenagalistrikan dan membiayai grid untuk tambahan kapasitas energi terbarukan.
Sejalan dengan hal tersebut, ARE juga melihat masih banyak perbankan yang belum menggelontorkan investasinya pada teknologi yang direkomendasikan oleh kedua panduan yang disusun ATF Study Group dan ERIA tersebut.
Sejumlah pihak masih mempertanyakan kelayakan komersial, efektivitas, dan daya saing dari “teknologi transisi” dimaksud—besar pengurangan emisi dengan CCUS masih belum terbukti sukses karena sebagian besar proyek tersebut dalam kurun tiga dekade terakhir gagal.
Co-firing dengan amonia tetap polutif
Hal yang sama juga terlihat pada teknologi co-firing amonia yang saat ini masih berada pada tahap prototipe. Menurut ARE, saat ini, co-firing belum terbukti dapat menurunkan emisi.
Analisis Bloomberg New Energy Finance (BNEF) menunjukan co-firing dengan amonia lebih polutif, karena mengeluarkan lebih dari dua kali lipat emisi yang diproyeksikan untuk pembangkit listrik dalam skenario Net Zero Emissions 2050 milik IEA.
Laporan Transition Zero menunjukan, co-firing hanya dengan 20 persen amonia abu-abu termurah menjadi dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga batu bara. Harganya pun akan lebih tinggi jika menggunakan amonia biru dan hijau.
"Industri perbankan di Asia Tenggara yang ingin mencapai target nol emisi akan menghadapi hasil negatif jika mengikuti dua panduan tersebut dan membiayai “teknologi transisi”. Oleh karena itu, bank-bank di Asia Tenggara disarankan membangun standar underwriting masing-masing untuk membiayai “teknologi transisi” dengan menyesuaikan konteks kebijakan di negara masing-masing," ungkap Mertzger.
Ia menambahkan, “konsekuensi buruk untuk ekonomi Asia Tenggara jika tidak mencapai target nol emisi pada 2050 sudah diilustrasikan di berbagai macam studi dan analisis. Oleh karena itu, bank perlu memberikan penilaian jangka panjang terkait jalur teknologi nasabahnya dalam pedoman underwriting mereka.”