Usulan Sri Mulyani Kaji Ulang 20% APBN untuk Pendidikan Tuai Penolakan
P2G usulkan desain ulang realisasi 20% APBN untuk pendidikan
Fortune Recap
- Menteri Keuangan usulkan ulang besaran belanja wajib pendidikan dalam APBN, menuai penolakan dari P2G dan Komisi X DPR.
- P2G meminta pemerintah agar tidak mengubah skema anggaran belanja wajib sebesar 20 persen dari APBN, karena sudah didasarkan pada konstitusi.
- Komisi X DPR menegaskan penolakan terhadap usulan untuk mengkaji ulang belanja wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.
Jakarta, FORTUNE - Usulan pemerintah untuk meninjau ulang besaran belanja wajib sebesar 20 persen untuk bidang pendidikan dalam APBN menuai penolakan.
Ide tersebut pada mulanya disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada Rabu (4/9), lantaran menurutnya belanja wajib 20 persen untuk anggaran pendidikan seharusnya didasarkan atas besaran pada pendapatan negara, bukan belanja negara.
"Ini caranya mengelola APBN tetap patuh dengan konstitusi, di mana 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Kalau 20 persen dari belanja, dalam belanja itu banyak ketidakpastian. Itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik-turun gitu," kata Sri Mulyani.
Terkait hal tersebut, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, meminta pemerintah agar tidak mengubah skema anggaran belanja wajib sebesar 20 persen dari APBN.
Menurutnya, aturan tersebut sudah bersandar pada konstitusi, yaitu Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
"Dengan anggaran wajib 20 persen APBN atau setara Rp665 triliun saja, biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Angka 20 persen sifatnya sudah minimalis," ujarnya dalam keterangan resmi.
Menurut Satriawan, dengan anggaran yang ada saja banyak fasilitas pendidikan belum memadai, dengan 60,60 persen kondisi bangunan SD rusak.
Selain itu, lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran, rata-rata lama sekolah (RLS) masih relatif rendah dengan 8,77 tahun, dan gaji guru honorer rendah.
"Potret pendidikan nasional kita masih rendah kualitasnya, yang sedang membutuhkan keberpihakan anggaran, tata kelola yang benar-benar menjadi prioritas perbaikan, tetapi mengapa malah ingin mengurangi anggaran?" tanya dia.
P2G juga mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang anggaran pendidikan pada belanja kementerian dan lembaga lain seperti sekolah kedinasan, yang angkanya mencapai Rp32,85 triliun. Sementara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan bahwa pembiayaan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi anggarannya hanya mencapai Rp7 triliun.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, mengatakan kondisi tersebut bertentangan dengan amanat Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menyebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN tidak termasuk biaya pendidikan kedinasan.
"Minimnya pembiayaan perguruan tinggi negeri berujung pada mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa. Hasilnya, para mahasiswa terjerat pinjol," ujarnya.
Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda, dalam rapat dengan Kemendikbudristek, Jumat (6/9), menegaskan bahwa komisinya sepakat menolak usulan untuk mengkaji ulang belanja wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN,
“Saya memberikan jawaban bahwa Komisi X menolak usulan utak-atik anggaran mandatori 20 persen yang disampaikan Ibu Sri Mulyani, dimana ingin mandatori 20 persen berbasis pada pendapatan dari APBN, bukan dari belanja APBN. Karena itu, sekali lagi dalam forum yang baik ini kami menyatakan pada posisi menolak,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Ia menjelaskan Komisi X jelas mengambil sikap tegas dalam menolak usulan tersebut, mengingat pihaknya justru masih tengah berjibaku untuk memperjuangkan pengelolaan dana wajib itu agar sepenuhnya dilakukan oleh Kemendikbudristek, sehingga sangat bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan oleh Komisi X
Menurutnya, porsi anggaran wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen justru masih belum cukup untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas serta pemerataan akses pendidikan di wilayah Indonesia, khususnya wilayah 3T. Syaiful Huda mengkhawatirkan jika formulasi 20 persen APBN untuk pendidikan berpatokan pada pendapatan negara, maka berpotensi menurunkan besaran anggaran untuk pendidikan.
“Kita bisa bayangkan dengan skema saat ini saja masih banyak anak yang tidak bisa sekolah karena alasan biaya, apalagi jika dana pendidikan diturunkan,” katanya.