Indonesia Bersiap Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Indonesia berencana bangun PLTN 4 GW untuk operasional 2036
Fortune Recap
- Pemerintah Indonesia berencana mengembangkan PLTN dengan kapasitas 4 GW untuk diversifikasi sumber energi.
- PLTN diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada batu bara dan emisi karbon, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait limbah radioaktif.
- Rencana operasionalisasi PLTN ditargetkan dimulai tahun 2036 sebagai respons terhadap perubahan iklim, sementara pemerintah tidak akan menutup seluruh PLTU pada tahun 2040.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia berencana mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas sekitar 4 gigawatt (GW) sebagai langkah strategis menuju pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan.
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan, saat ini, total kapasitas daya terpasang di Indonesia melebihi 90 GW, dengan dominasi penggunaan batu bara yang menyumbang lebih dari separuhnya. Kontribusi energi terbarukan masih di bawah 15 persen, dan Indonesia belum memiliki infrastruktur pembangkit listrik berbasis nuklir. Untuk mendiversifikasi sumber energi, pemerintah mempertimbangkan nuklir sebagai alternatif yang potensial.
Hashim, yang juga merupakan adik dari Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan dalam sebuah forum yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan bahwa Indonesia berencana membangun reaktor modular kecil yang dapat mengapung. Meski demikian, ia belum memberikan detail terkait jadwal pembangunan maupun jumlah reaktor yang akan dibuat.
PLTN ini ditargetkan akan mulai beroperasi pada 2036. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tantangan global yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dengan mengadopsi teknologi nuklir, diharapkan Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon.
Walaupun PLTN dikenal sebagai sumber energi yang tidak menghasilkan emisi karbon dioksida secara langsung, terdapat kekhawatiran terkait limbah radioaktif yang dihasilkannya. Beberapa pakar berpendapat bahwa energi nuklir sebaiknya tidak dikategorikan sebagai energi hijau karena tantangan pengelolaan limbahnya yang kompleks.
Dalam pidatonya, Hashim juga menyampaikan kritik terhadap Just Energy Transition Partnership (JETP), sebuah inisiatif dari negara-negara G7 yang diluncurkan pada 2022. Salah satu tujuan program ini adalah membantu Indonesia mengurangi emisi karbon dengan menyediakan pendanaan sebesar US$20 miliar. Namun, hingga saat ini, realisasi pencairan dana tersebut masih sangat terbatas.
"JETP adalah program yang gagal," ujar Hashim, mengutip laporan Reuters pada Sabtu (1/2).
Selain itu, Hashim menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo tidak akan menutup seluruh pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) pada 2040. Meski demikian, pemerintah akan menghentikan pembangunan PLTU baru sebagai bagian dari komitmen untuk mengurangi emisi dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih.
Indonesia, sebagai eksportir batu bara termal terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara. Pembangkit listrik tenaga batu bara tetap menjadi salah satu kontributor utama emisi karbon di negara ini.