Indef Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen dari BPS

- Indef meragukan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 sebesar 5,12 persen yang dirilis BPS.
- Data investasi janggal dan sinyal pelemahan lain terlihat jelas.
- Pertumbuhan 5,12 persen dari BPS melampaui konsensus pasar, sehingga Indef mendorong pemerintah memberikan penjelasan lebih transparan dan akuntabel terkait data yang dirilis.
Jakarta, FORTUNE - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyuarakan keraguan besar terhadap data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 sebesar 5,12 persen yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Angka tersebut dinilai tidak sejalan dengan berbagai indikator ekonomi riil yang justru menunjukkan tren pelemahan.
Dalam diskusi yang berlangsung secara hybrid di Jakarta, Rabu (6/8), Indef menyoroti adanya data yang saling bertentangan, terutama pada sektor investasi. BPS melaporkan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi tumbuh 6,99 persen secara tahunan (YoY), tertinggi sejak kuartal II-2021.
Namun, Ekonom Senior Indef, M. Fadhil Hasan, mengutip data dari Kementerian Investasi yang justru menunjukkan penurunan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA).
"FDI asing, ini keterangan dari Pak Rosan sendiri [Menteri Investasi] menyatakan bahwa turun [menjadi] Rp202,2 triliun dari periode tahun lalu triwulan II-2024 [sebesar] Rp217,3 triliun," ujar Fadhil.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, secara lugas mempertanyakan keabsahan data pemerintah tersebut.
"Kami tetap mempertanyakan kepada BPS apakah data-data ini valid dan mencerminkan kondisi di lapangan," ujarnya.
Fadhil menambahkan, selain data investasi yang janggal, sejumlah sinyal pelemahan lain juga terlihat jelas. Indikator tersebut mencakup penurunan penjualan kendaraan, indeks PMI manufaktur yang berada pada zona kontraksi, hingga konsumsi rumah tangga yang melemah.
Ia juga menunjuk pertumbuhan kredit yang cenderung stagnan, peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK), menurunnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), serta pesimisme terhadap pendapatan masyarakat.
"Terjadi pula aliran modal asing keluar (net capital outflow) serta penurunan penerimaan pajak, khususnya dari PPN dan PPnBM, yang biasanya berkorelasi dengan aktivitas ekonomi," katanya.
Angka pertumbuhan 5,12 persen dari BPS ini juga melampaui konsensus pasar. Sebelumnya, estimasi median dari 30 analis yang dihimpun Bloomberg memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya pada level 4,8 persen (YoY).
Karena itu, Indef mendorong pemerintah memberikan penjelasan lebih transparan dan akuntabel terkait data yang dirilis.
"Pengumuman pemerintah merupakan sesuatu yang menjadi rujukan resmi. Kami mendorong pemerintah memberikan penjelasan dan komunikasi lebih lanjut, dan mendorong pemerintah agar melihat secara lebih mendasar lagi mungkin dari sisi metodologinya," ujarnya.