Morgan Stanley Prediksi Harga Minyak Anjlok ke US$60

- Morgan Stanley memproyeksikan harga minyak Brent turun ke US$60 per barel pada awal 2026.
- Pertumbuhan pasokan kuat dari negara non-OPEC diperkirakan mencapai 1 juta barel per hari setiap tahun.
- OPEC+ menyetujui peningkatan produksi sebesar 411.000 barel minyak per hari untuk Juli.
Jakarta, FORTUNE - Bank investasi raksasa, Morgan Stanley, merilis proyeksi bearish untuk harga minyak dunia. Harga minyak mentah Brent diramalkan melemah secara signifikan hingga menggapai level US$60 per barel pada awal 2026.
Prediksi ini didasarkan pada dua faktor utama: pasokan pasar yang kuat dari negara-negara non-OPEC dan meredanya risiko geopolitik menyusul de-eskalasi konflik Israel-Iran.
Dalam catatan riset yang dirilis Selasa (1/7), Morgan Stanley memperkirakan adanya pertumbuhan pasokan yang kuat dari produsen di luar aliansi OPEC+ sekitar 1 juta barel per hari (bph) setiap tahun selama periode 2025-2026.
"Jumlah ini akan cukup untuk memenuhi pertumbuhan permintaan pada periode tersebut," demikian Morgan Stanley. Bank tersebut bahkan memprediksi akan terjadi kelebihan pasokan (over-supply) sekitar 1,3 juta barel per hari pada 2026.
Proyeksi pelemahan harga ini sejalan dengan langkah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) yang mulai melonggarkan pemotongan produksi. OPEC+ dilaporkan akan kembali menaikkan kuota produksi pada Agustus mendatang.
Menurut empat sumber internal OPEC+, jika kenaikan produksi Agustus disetujui dalam pertemuan pada 6 Juli nanti, maka total peningkatan pasokan dari aliansi tersebut sepanjang tahun ini akan mencapai 1,78 juta barel per hari.
Sentimen pasar merespons sinyal melimpahnya pasokan ini. Pada perdagangan Selasa (1/7), harga minyak turun tipis. Minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman September tercatat melemah 0,24 persen ke level US$66,58 per barel.
Selain tekanan dari sisi pasokan, prospek permintaan yang menurun juga turut membebani harga. Kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global, yang salah satunya dipicu oleh prospek kenaikan tarif oleh Amerika Serikat, membatasi potensi kenaikan harga minyak lebih lanjut.