Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pembatasan Gas Murah Industri Kembali Muncul, Di Mana Masalahnya?

ilustrasi manufaktur (pexels.com/Kateryna Babaieva)
ilustrasi manufaktur (pexels.com/Kateryna Babaieva)
Intinya sih...
  • Pembatasan pasokan gas murah untuk industri kembali mencuat
  • Produsen gas mengumumkan rencana pemangkasan distribusi hingga 48 persen
  • Kementerian Perindustrian membentuk “Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT”
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Para pelaku industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) menunjukkan keresahannya setelah produsen gas mengumumkan rencana pemangkasan distribusi hingga 48 persen. Setiap penggunaan gas di atas kuota akan dikenai biaya tambahan 12 persen dari harga US$14,8 per million british thermal unit (MMBTU) atau menjadi setara dengan US$17,8 per MMBTU.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menanggapi problem ini dengan membentuk “Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT,” yang akan menjadi wadah laporan, keluhan, hingga masukan dari pelaku industri terdampak.

“Menurut kami, hal ini janggal karena pasokan gas untuk harga normal di atas US$15 per MMBTU stabil, sementara HGBT di US$6,5 per MMBTU justru dibatasi. Itu artinya, tidak ada masalah produksi dari hulu,” ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, dalam keterangannya, dikutip Selasa (19/8).

Febri mengatakan produsen gas sebaiknya tidak membangun narasi pembatasan pasokan gas karena ingin menaikkan harga gas untuk industri di atas US$15 per MMBTU.

“Kami tidak ingin kejadian yang terulang kembali pada industri dalam negeri, dengan kebijakan relaksasi impor yang mengakibatkan turunnya utilisasi produksi, penutupan industri, dan pengurangan tenaga kerja pada industri TPT dan alas kaki,” ujarnya.

Pembentukan pusat krisis ini menyusul makin banyaknya laporan dari pelaku industri dalam negeri mengenai pembatasan pasokan, penurunan tekanan gas yang diterima, serta tingginya harga gas yang dibebankan. Selain itu, tersendatnya pasokan HGBT serta harga yang dibayar industri di atas harga yang ditetapkan Perpres Nomor 121 Tahun 2020, juga menjadi dasar pembentukannya.

Tujuh subsektor penerima manfaat HGBT adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.

Beberapa sektor industri pengguna HGBT sudah mulai menyampaikan laporan kepada direktorat terkait di Kemenperin. Di antara kondisi yang dilaporkan adalah pembatasan pasokan serta tekanan gas yang tidak stabil. Situasi ini memaksa sejumlah perusahaan melakukan rekayasa operasional agar produksi tetap berjalan.

Febri mengatakan banyak dari kasus tersebut ditemukan pada sektor industri keramik, gelas kaca, baja, dan oleokimia yang sangat bergantung pada pasokan gas dengan harga kompetitif.

“Kalau gas dibatasi, tekanannya turun, atau harganya melonjak, industri pasti terpukul. Ini bukan hanya soal biaya produksi yang meningkat, tapi juga bisa memicu pengurangan kapasitas, ancaman PHK, dan penurunan daya saing produk Indonesia,” katanya.

Dampak terganggunya pasokan gas industri

Sejumlah perusahaan mengaku terpaksa mematikan lini produksi, mengganti gas dengan solar, hingga menanggung lonjakan biaya produksi. Beberapa perusahaan bahkan telah menghentikan operasionalisasi dan merumahkan pekerjanya.

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan dua perusahaan pada industri tableware di Tangerang telah merumahkan sekitar 700 pekerja akibat gangguan pasokan gas dari PGN di Jawa Barat sejak pertengahan Agustus.

“Gangguan ini mendistorsi optimisme industri keramik. Bahkan ekspansi senilai Rp8 triliun yang ditargetkan selesai pada 2027 kini terancam batal,” kata Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, dalam keterangannya, Minggu (17/8).

Padahal, sejak 2020 hingga 2024, industri keramik mencatat pertumbuhan pajak hingga 50 persen, menyerap 16.000 tenaga kerja baru, dan mengukuhkan Indonesia sebagai empat besar produsen keramik dunia.

PGN beralasan gangguan pasokan disebabkan faktor force majeure. Atas persoalan ini, perseroan menerapkan kebijakan kuota pemanfaatan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar 48 persen dari kebutuhan.

Corporate Secretary PT PGN, Fajriyah Usman, menyatakan PGN selalu mengupayakan ketersediaan pasokan gas bumi demi mendukung kelangsungan operasional seluruh pelanggan.

Saat ini, menurut Fajriyah, tekanan gas di dalam infrastruktur pipa berangsur-angsur stabil dengan diperolehnya tambahan gas untuk mengisi pipa transmisi gas bumi. Tambahan pasokan gas yang dimaksud berasal dari, antara lain, pertukaran alokasi gas dari West Natuna Group, Medco WK South Sumatra, dan PEP Pagardewa, serta pasokan LNG sesuai jadwal yang disepakati.

Tambahan alokasi pasokan tersebut akan dimanfaatkan untuk meningkatkan keandalan operasional guna menjaga stabilitas pasokan gas kepada pelanggan.

“Hal ini merupakan bentuk sinergi PGN dengan berbagai pemangku kepentingan dalam mengupayakan stabilisasi dan penguatan pasokan gas untuk memastikan keberlangsungan layanan kepada pelanggan,” kata Fajriyah dalam keterangannya, Minggu (17/8).

Pada Februari 2024, hal semacam ini pernah terjadi dengan dalih gangguan pasokan dari hulu. PGN pun memberlakukan kuota pemakaian gas alias Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) dengan kisaran 60-70 persen.

Akibat pembatasan ini, industri, khususnya sektor keramik, terpaksa membayar harga gas jauh lebih tinggi, mencapai US$15 per MMBTU. Padahal, harga HGBT ditetapkan sekitar US$6 per MMBTU.

Perlu agregator yang bertanggung jawab atas gas

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai masalah ini berakar pada tata kelola gas nasional. Meski neraca gas nasional dilaporkan surplus, defisit justru terjadi di sejumlah wilayah, termasuk Jawa Barat.

“Kondisi ini terjadi karena belum ada pihak yang secara tegas ditugaskan UU untuk menjamin pasokan gas domestik,” kata Komaidi kepada Fortune Indonesia, Selasa (19/8).

Ia mengatakan pada Agustus–Desember 2025, wilayah Sumatra Tengah, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat diproyeksikan mengalami kekurangan pasokan hingga 566,70 BBTUD jika tak ada tambahan suplai.

Empat penyebab kelangkaan itu adalah terjadinya penurunan produksi/natural decline di hulu atau produksi gas oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Kemudian, terjadi unplanned shutdown pada pemasok gas. Ketiga, terjadi pergeseran realisasi jadwal tambahan pasokan gas seperti mundurnya jadwal swap gas dan target onstream. Terakhir, ketiadaan komitmen alokasi LNG untuk menutup defisit gas pipa.

Komaidi menekankan perlunya agregator dan integrator gas nasional, mirip dengan Malaysia melalui PETRONAS atau Thailand lewat PTT Public Company Limited (PTT PCL).

Fungsi agregator itu pada dasarnya mirip BULOG pada sektor pangan, yang berposisis penting dalam perlindungan kepentingan produsen dan konsumen. Pada saat produksi gas sedang melimpah, agregator gas dapat menyerap produksi gas KKKS sehingga harga jual gas di hulu terjaga. Sementara itu, ketika harga gas di pasar internasional tinggi, agregator gas dapat melepas cadangan atau mengonsolidasikan pasokan sehingga pengguna gas domestik dapat terhindar dari risiko kenaikan harga gas di pasar internasional.

“Jika mengingat lebih dari 90 persen pangsa pasar dan infrastruktur gas nasional dikuasai oleh Pertamina Group, pihak yang potensial dan logis untuk diberikan peran dan ditugaskan sebagai agregator dan integrator gas nasional adalah Pertamina terutama melalui PGN yang berperan sebagai Sub-Holding Gas Pertamina,” ujarnya.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us