Pemerintah Target Biaya Logistik 8 Persen, Pengusaha Tagih Solusi PPN Hingga Antrean BBM

- Pemerintah menyiapkan deregulasi untuk turunkan biaya logistik ke 8 persen dari PDB pada 2030.
- Deregulasi fokus pada investasi konektivitas, integrasi digitalisasi, dan peningkatan daya saing sumber daya manusia di sektor logistik.
- Pelaku usaha desak reformasi perpajakan dan sistem perizinan untuk mendukung daya saing logistik nasional.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah menargetkan pemangkasan biaya logistik nasional secara drastis dari 14,29 persen menjadi 8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2030. Namun, kalangan pengusaha mengingatkan bahwa target ambisius tersebut sulit tercapai jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah fundamental yang selama ini mengakar di lapangan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan komitmen pemerintah mendorong efisiensi melalui serangkaian kebijakan deregulasi.
“Pemerintah akan terus mendorong deregulasi di sektor logistik agar kita bisa mencapai angka biaya logistik yang single digit, seperti negara-negara ASEAN lainnya,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Rabu (2/7).
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Akbar Djohan, menyambut baik visi pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa rencana besar tersebut harus diiringi dengan solusi cepat (quick win) atas sejumlah hambatan operasional yang membebani daya saing industri.
Salah satu isu utama, kata Akbar, adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa angkutan barang untuk ekspor (freight export).
“Di luar negeri, jasa freight export tidak dikenakan PPN karena mereka ingin mendorong ekspor. Tapi di Indonesia, biaya ini jadi beban tambahan bagi pelaku logistik,” ujarnya.
Selain pajak, pelaku usaha juga menyoroti rumitnya sistem perizinan yang mewajibkan perusahaan membuat badan usaha baru untuk setiap jenis layanan logistik. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk armada truk.
Meskipun truk berpelat kuning berhak atas subsidi, antrean panjang dan ketidakpastian pasokan di daerah kerap terjadi.
“Antrean ini ibarat 'dwelling time' di darat. Tidak ada kepastian kapan bisa jalan. Ini menimbulkan kerugian besar bagi pengusaha,” kata Akbar.
Untuk mencapai target efisiensinya, pemerintah telah merancang kebijakan yang berfokus pada tiga pilar utama: penguatan investasi konektivitas, integrasi dan digitalisasi sistem logistik, serta peningkatan daya saing sumber daya manusia (SDM).
Airlangga menambahkan, perbaikan sektor logistik menjadi semakin mendesak di tengah dinamika rantai pasok global akibat konflik geopolitik.
“Dengan ketergantungan kita pada bahan baku impor dan kebutuhan untuk mengolahnya di dalam negeri, maka sistem logistik yang prima adalah kunci,” ujarnya.
Namun, ALFI mengingatkan bahwa tanpa solusi konkret atas masalah-masalah di lapangan, target besar pemerintah akan sulit terwujud.
"Selama deregulasi perizinan belum terintegrasi, ini akan terus menjadi hambatan bagi daya saing logistik nasional dan juga penghambat masuknya investasi asing,” katanya Akbar.