Perekonomian Maluku Utara Naik 32 Persen, Jauh Lewati Capaian Nasional

- Maluku Utara membukukan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia pada kuartal II-2025.
- Sektor industri manufaktur, terutama pengolahan berbasis nikel, menjadi pendorong utama.
- Papua Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Papua Barat mengalami kontraksi ekonomi.
Jakarta, FORTUNE - Maluku Utara mencatatkan rekor pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia dengan persentase 32,09 persen pada kuartal II-2025, jauh melesat dari rata-rata nasional 5,12 persen. Lonjakan ini didorong oleh kinerja industri pengolahan nikel yang menjadi tulang punggung baru perekonomian daerah.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan hilirisasi nikel menjadi pengungkit utama.
“Di Maluku Utara, pengungkit utama pertumbuhan adalah industri logam dasar. Produksi feronikel mencapai Rp40,49 triliun, ditambah produksi mixed hydroxide precipitate (MHP) dan produk turunan nikel lainnya yang relatif tinggi,” kata Amalia dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah secara virtual, Senin (11/8).
Sektor pertambangan bijih nikel mentah juga berkontribusi signifikan dengan nilai produksi Rp6,9 triliun. Hilirisasi ini terbukti menciptakan efek ganda, dari peningkatan aktivitas industri hingga lonjakan ekspor produk bernilai tambah seperti feronikel dan baja nirkarat (stainless steel).
Kinerja impresif juga ditunjukkan oleh Sulawesi Tengah yang perekonomiannya tumbuh 7,95 persen, ditopang oleh industri olahan nikel yang didorong Penanaman Modal Asing (PMA). Pada posisi ketiga, Kepulauan Riau tumbuh 7,14 persen berkat peningkatan produksi migas di Natuna dan geliat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Namun, pada saat yang sama, beberapa provinsi berbasis sumber daya alam justru mengalami nasib sebaliknya. Papua Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Papua Barat mencatatkan kontraksi ekonomi masing-masing -9,83 persen, -0,82 persen, dan -0,23 persen.
Penurunan di Papua Tengah dipicu oleh merosotnya produksi bijih logam akibat kadar bijih (ore grade) yang lebih rendah. Produksi emas anjlok 28,8 persen dan tembaga turun 18,6 persen secara tahunan.
Sementara itu, NTB mengalami kontraksi akibat produksi konsentrat bijih logam yang merosot 57,78 persen menjadi 111.913 DMT. Penurunan ini terjadi karena kapasitas penyimpanan penuh imbas kendala izin ekspor dan kinerja smelter yang belum optimal.
Sementara di Papua Barat, perlambatan terjadi seiring turunnya produksi LNG Tangguh sebesar 2,16 persen. Padahal, industri migas masih menyumbang 37,96 persen terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi tersebut.