Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

PMI Manufaktur Indonesia Kembali Melemah, Industri Tunggu 3 Kebijakan Kunci

Ilustrasi Kondisi Pabrik Sektor Manufaktur Otomotif. (Unsplash/Appliances)
Ilustrasi Kondisi Pabrik Sektor Manufaktur Otomotif. (Unsplash/Appliances)
Intinya sih...
  • PMI manufaktur Indonesia turun menjadi 46,9 dari 47,4 pada Mei 2025
  • Penurunan disebabkan oleh menurunnya permintaan pasar ekspor dan domestik serta belum hadirnya kebijakan yang memadai bagi pelaku industri
  • Pelaku industri menantikan kebijakan deregulasi pro bisnis, pembatasan entry port produk impor, dan penandatanganan IEU-CEPA

Jakarta, FORTUNE - Kinerja sektor manufaktur Indonesia kembali terkontraksi lebih dalam pada Juni 2025, di tengah kombinasi pelemahan permintaan dan penantian pelaku usaha terhadap realisasi kebijakan pemerintah. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur tercatat turun ke level 46,9, lebih rendah dari posisi 47,4 pada bulan sebelumnya.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, menyebutkan dua penyebab utama di balik pelemahan ini.

“Pertama, perusahaan industri masih menunggu paket kebijakan deregulasi yang pro bisnis. Kedua, terjadi pelemahan permintaan pasar ekspor dan domestik serta penurunan daya beli masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Selasa (1/7).

Untuk membalikkan tren, Kemenperin menyebut ada tiga kebijakan strategis yang sangat dinantikan pelaku industri. Ketiganya diharapkan dapat melindungi pasar domestik dan membuka akses pasar ekspor.

  • Revisi kebijakan impor: Revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang diumumkan pemerintah dinilai positif, tapi dampaknya diperkirakan baru terasa dua bulan mendatang.

  • Pembatasan pelabuhan masuk (entry port): Kebijakan ini dianggap penting membendung produk impor murah dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri.

  • Persetujuan IEU-CEPA: Perjanjian kemitraan dengan Uni Eropa ini diyakini akan membuat produk Indonesia lebih kompetitif di pasar Eropa.

Selain menanti kebijakan, tantangan terbesar datang dari sisi permintaan. Febri mengungkapkan bahwa pelemahan daya beli membuat masyarakat cenderung memprioritaskan kebutuhan dasar.

“Konsumsi produk manufaktur terutama barang sekunder dan tersier mengalami tekanan,” ujarnya.

Bahkan, ia menyebut masyarakat kelas menengah atas lebih memilih menabung atau berinvestasi ketimbang berbelanja.

Pelemahan permintaan ekspor juga masih membayangi, memaksa banyak industri mengalihkan fokus ke pasar domestik yang sayangnya juga sedang lesu.

Kendati demikian, secercah harapan muncul dari beberapa insentif jangka pendek. Belanja negara untuk proyek infrastruktur yang mulai cair pada pertengahan Juni telah memberi dampak positif bagi industri pendukung seperti keramik, semen, dan baja.

Selain itu, momentum libur sekolah dan pencairan gaji ke-13 juga turut mendorong aktivitas di sektor makanan-minuman, kertas, serta tekstil dan pakaian jadi.

"Kami mengapresiasi insentif ini yang bisa meningkatkan permintaan dan penyerapan tenaga kerja,” kata Febri.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us