Tahan Gertakan Donald Trump, Fed Tetap Tahan Suku Bunga

- Fed tetap tahan suku bunga di tengah tekanan politik dari Trump
- Keputusan menegaskan konsistensi bank sentral AS dalam mempertahankan suku bunga sepanjang tahun ini
- Perekonomian AS tangguh meski terkena tekanan tarif Trump
Jakarta, FORTUNE - Di tengah tekanan politik yang makin kencang dari Presiden Donald Trump, Federal Reserve atau Fed tetap mempertahankan suku bunga acuan pada kisaran 4,25-4,50 persen pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Juli 2025.
Langkah ini mengirim sinyal kuat bahwa bank sentral Amerika Serikat lebih mengandalkan data ekonomi ketimbang intervensi politik dalam menentukan arah kebijakan moneternya. Keputusan ini juga menegaskan konsistensi Fed sepanjang tahun ini, meskipun Trump secara terbuka terus mendesak pemangkasan suku bunga.
Ketua Fed, Jerome Powell, menegaskan tingkat suku bunga saat ini cukup ketat untuk menjaga stabilitas harga. Ia menekankan Fed masih membutuhkan lebih banyak data sebelum mengambil langkah menuju kebijakan lebih akomodatif.
“Kami perlu memastikan bahwa kenaikan harga yang baru-baru ini terjadi tidak berubah menjadi inflasi yang berkelanjutan. Kami akan menggunakan seluruh perangkat kami untuk mencegah itu,” ujar Powell dalam pernyataan resminya.
Sikap hati-hati Fed didukung oleh data ekonomi terbaru. Inflasi inti tercatat naik tipis menjadi 2,9 persen pada Juni dari 2,8 persen pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, perekonomian AS menunjukkan resiliensi dengan tingkat pengangguran yang stabil pada 4,1 persen dan pertumbuhan PDB kuartal kedua yang naik 3 persen, sebuah rebound kuat dari kontraksi 0,5 persen pada kuartal pertama.
Meskipun demikian, keputusan ini tidak diambil secara bulat. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun, dua gubernur Fed, Michelle Bowman dan Christopher Waller, secara resmi menyatakan perbedaan pendapat (dissent). Mereka tidak sejalan dengan keputusan mayoritas yang memilih menahan suku bunga, sebuah peristiwa yang menyoroti adanya perdebatan internal yang serius.
Keputusan Fed diambil di tengah ketidakpastian yang dipicu oleh kebijakan Presiden Trump. Trump baru saja mengumumkan tarif baru sebesar 25 persen untuk impor dari India, dengan tudingan negara tersebut terlalu dekat dengan Rusia.
Langkah proteksionis ini, menurut sejumlah ekonom, berpotensi membebani bisnis dan konsumen AS. Luke Tilley, mantan penasihat Fed Philadelphia, menilai kondisi ini membuat bank sentral enggan memberikan sinyal pelonggaran.
“Ketika mereka melihat pengangguran tetap rendah dan PDB kembali tumbuh, mereka akan sangat berhati-hati dalam memangkas suku bunga. Sekali pasar mengantisipasi pemangkasan, akan sulit untuk menariknya kembali,” ujar Tilley kepada Fortune.
Namun, beberapa analis mulai melihat potensi perlambatan. Van Hesser, Kepala Strategi di Kroll Bond Rating Agency, memprediksi bahwa Fed akan melonggar pada akhir tahun.
“Risiko inflasi dan perlambatan pertumbuhan kini semakin seimbang. Saya perkirakan dua kali pemangkasan suku bunga sebesar masing-masing 50 basis poin di kuartal keempat,” kata Hesser.
Meski menjadi sasaran kritik pribadi dari Trump—yang bahkan menjulukinya “Mr. Late”—Powell mencoba meredam ketegangan. Ia menyebut pertemuannya dengan Trump pekan lalu sebagai sesi yang “sangat konstruktif” dan menyambut baik dorongan sang presiden agar renovasi kantor pusat Fed dipercepat.
Untuk saat ini, Fed memilih menunggu data ekonomi selanjutnya. Di tengah suhu politik yang memanas menjelang pemilu dan ketidakpastian ekonomi global, kehati-hatian menjadi kunci utama arah kebijakan moneter bank sentral AS.