UU PPN 12% Ditinjau Ulang, Ahli Desak Penurunan Pajak untuk Stimulus

- Penurunan pajak untuk stimulus ekonomi
- Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen berpotensi menghilangkan lebih dari 550 ribu lapangan kerja dalam kurun satu tahun.
- Media Wahyudi Askar menyoroti dampak regresif kenaikan PPN terhadap masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, yang memperburuk daya beli kelompok rentan.
- Bhima Adhinegara menyoroti dampak serius kenaikan PPN menjadi 12 persen terhadap konsumen, pelaku usaha, dan daya beli masyarakat.
- Kebijakan ini berpotensi menggerus pendapatan masyarakat hingga Rp64,8 triliun dan menurunkan output ekonomi sebesar Rp79,7 triliun serta tidak berdampak positif terhadap penerimaan negara.
Jakarta, FORTUNE - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam sidang tersebut, Bhima Yudhistira Adhinegara selaku ahli ekonomi yang merupakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memberikan keterangan mewakili Kuasa Hukum Pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP).
Bhima menyoroti dampak serius dari ketentuan Pasal 4 angka 1 dan 2 serta Pasal 7 UU HPP, khususnya terkait kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurutnya, kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian bagi konsumen dan pelaku usaha serta berpotensi melemahkan daya beli masyarakat.
“Pada Desember 2024, sejumlah pelaku usaha ritel telah lebih dulu membebankan tarif baru kepada konsumen dan menimbulkan kenaikan harga barang,” ujar Bhima melalui keterangan resmi di Jakarta, (9/7).
PPN 12% gerus pendapatan masyarakat hingga Rp64,8 triliun

Bhima juga menyampaikan temuan riset CELIOS yang menunjukkan bahwa kebijakan PPN 12 persen berpotensi menurunkan output ekonomi sebesar Rp79,7 triliun.
Meski PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, kebijakan ini juga bisa menggerus pendapatan masyarakat Rp64,8 triliun, dan menghilangkan lebih dari 550 ribu lapangan kerja dalam kurun satu tahun.
Selain itu, Bhima menilai bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak berdampak positif terhadap penerimaan negara. Berdasarkan data APBN edisi Juni 2025, realisasi penerimaan pajak justru menurun 10,14 persen secara tahunan. "Kenaikan tarif pajak tidak serta-merta meningkatkan penerimaan. Masalah utamanya terletak pada kepatuhan pajak dan kualitas administrasi perpajakan,” tegasnya.
Ekonom desak penurunan tarif pajak

Sebagai solusi, Bhima menyarankan agar Pemerintah melakukan perubahan UU HPP dan segera memangkas tarif PPN secara umum untuk mencegah gelombang PHK dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Setali dengan keterangan Bhima, Media Wahyudi Askar sebagai Ahli Kebijakan Fiskal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menyoroti dampak regresif kenaikan PPN terhadap masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Menurutnya, kebijakan menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen pada 2025 justru memperburuk daya beli kelompok rentan yang sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk konsumsi barang kena pajak.
Barang kebutuhan pokok memang dikecualikan dari PPN, tapi efek ke biaya energi dan transportasi membuat harga beras bisa semakin mahal. “PPN dikenakan sama rata kepada semua konsumen, tetapi rumah tangga miskin menghabiskan 90 persen pendapatannya untuk konsumsi, sementara kelompok kaya hanya 50–60 persen. Kenaikan tarif PPN akan berdampak lebih besar pada kelompok bawah secara proporsional,” ungkap Media dalam persidangan.
Ia juga mengkritik struktur regulasi yang memungkinkan kenaikan tarif PPN secara otomatis melalui Peraturan Pemerintah (PP) tanpa pembahasan legislatif yang memadai. Hal ini dinilai menutup ruang partisipasi publik dan memperlemah prinsip checks and balances dalam tata kelola fiskal negara.
Seperti diketahui, sidang lanjutan ini menjadi bagian penting dalam rangkaian pengujian konstitusionalitas UU HPP dengan nomor perkara 11/PUU-XXIII/2025.
Ia berharap Majelis Hakim Konstitusi diharapkan dapat mempertimbangkan keterangan ahli dalam memutuskan perkara ini. Mengingat perkara ini merupakan momentum penting untuk menilai apakah kebijakan fiskal yang diambil pemerintah telah memenuhi prinsip keadilan sosial dan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.