Jakarta, FORTUNE - Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Handi Risza Idris mengatakan asuransi syariah di Indonesia kian berkembang sejalan perkembangan industri keuangan syariah.
“Merujuk data pada 2021 market share asuransi syariah baru mencapai 5,3 persen dari industri asuransi secara umum, tapi masih bisa tumbuh positif. Triwulan satu 2022 masih tumbuh sekitar 2 sampai 3 persen. Artinya di satu sisi ada potensi yang masih bisa kita kembangkan terus,” katanya.
Dia menambahkan, di masa pandemi banyak pihak melakukan mitigasi terhadap usaha atau keluarga dibanding kondisi normal, peluang ini bisa ditingkatkan oleh perusahaan asuransi, termasuk asuransi syariah. Namun, di sisi lain diperlukan strategi yang bisa mendorong tingkat pertumbuhan lebih baik dan membangun satu ekosistem ekonomi syariah.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), Tatang Nurhidayat, memaparkan sejak 1994 ketika pertama kali ada asuransi syariah hingga tahun 2000-an perkembangan cukup lambat. Namun, di 2022 pemerintah mengizinkan bentuk unit usaha syariah sebagai inkubator bisnis.
“Dalam perjalanannya diharapkan berkembang hingga melahirkan entitas baru. Ini diamanatkan dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian,” ujarnya.
Perusahaan asuransi pun terus berupaya untuk melakukan spin off terhadap unit syariahnya. Adapun batas waktu perusahaan untuk memenuhi kewajiban hingga 2024.
Masa depan dan optimisme setelah spin-off
Handi mengatakan, adanya UU No. 40 Tahun 2014 memberi kesempatan cukup lama bagi perusahaan asuransi untuk mempersiapkan diri untuk menjalankan operasional sesuai prinsip syariah.
“Pelaksanaan secara terpisah ini jadi jalan keluar agar beroperasi murni secara syariah tanpa terikat perusahaan induknya. Sebaliknya, ada kehati-hatian karena banyak perusahaan sifatnya joint venture atau perusahaan lokal yang nilai tak terlalu besar. Maka jika mereka tak siap, izinnya bisa saja dikembalikan ke OJK atau melebur lagi ke induknya,” kata
Tatang menjelaskan, sebelum Covid-19 melanda optimisme memang tinggi, tapi kini perusahaan realistis. Dalam artian, ada yang persiapannya belum maksimal atau mempertimbangkan ulang. Jika portofolio cukup sebagai modal pembangunan, maka bisa bersiap spin-off, tetapi masih ada yang perlu top up modal.,
"Kami harap dalam dua tahun ini bisa lancar dalam proses spin-off. Kita lihat kesiapan ada perubahan peta, ada perusahaan di 2019 atau 2020 akan mempercepat, tapi sekarang relook target dan posisi dan waktu persiapan tinggal setahun. Peta ini akan terlihat jelas tahun depan, mana yang spin-off mana yang tidak,” katanya.
Perlu dukungan pemerintah
Tatang menyebutkan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) memperhatikan tiga hal yang menjadi pekerjaan rumah. Pertama, soal kesiapan internal. Kedua, bagaimana menggali market dan potensi bisnis sehingga menarik bagi para investor atau pengusahaa untuk memperbesar skala bisnis dari unit jadi perusahaan.
“Di lain pihak perlu dukungan pemerintah, bagaimana industri baru ini bisa menggarap pasar yang tak bisa digarap asuransi konvensional,” ujarnya.
Tatang memerinci, dukungan dapat berupa memberikan insentif dan kemudahan. Diharapkan pula ada relaksasi perpajakan di tiga hingga lima tahun pertama, serta stimulus permodalan .
“Proses spin-off ini bukan aksi korporasi biasa dan bukan keinginan perusahaan, melainkan dorongan regulasi perundangan. Juga harus diperhatikan, bagaimana ketentuan untuk perusahaan yang size menengah atas dan menengah bawah. Jika ada dorongan maka 2024 bisa jadi iklim positif bagi para pelaku usaha asuransi syariah,” ujarnya.
Handi menambahkan, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) terus berupaya melakukan sosialisasi dan edukasi terkait asuransi syariah. “Kami melakukan roadshow ke berbagai daerah yang diharapkan dapat menjembatani informasi, baik bagi masyarakat maupun stakeholder. Kami siap berkontribusi mempersiapkan dan mendorong spin-off ini.”