Jakarta, FORTUNE - Konsep dapur virtual (virtual kitchen) atau yang dikenal sebagai ghost kitchen atau cloud kitchen mulai berkembang. Adanya pembatasan aktivitas akibat Covid-19, menyebabkan ghost kitchen dengan pesan-antar tumbuh kian pesat. Banyak orang lebih cenderung memesan makanan lewat aplikasi dan menikmatinya di rumah, meski harus membayar lebih mahal karena tambahan ongkos kirim.
Tidak seperti restoran konvensional pada umumnya, ghost kitchen tidak memiliki area tempat duduk untuk makan di dalam atau bahkan di depan toko. Ghost kitchen merupakan fasilitas memasak makanan secara profesional dan khusus beroperasi untuk pengiriman makanan.
Fasilitas ruang dapur ini bukanlah milik satu restoran, melainkan ada lebih dari satu restoran bergabung di dalamnya. Konsep ini menarik minat para pelaku usaha, sebab biaya sewa gedung lebih murah dibandingkan ketika harus membuka restoran sendiri. Lalu, bagaimana konsep ghost kitchen dan mungkinkah dapur model baru ini disertifikasi halal?
Industri ghost kitchen global diprediksi tumbuh hampir Rp2 triliun
Menurut laporan Researchandmarkets, industri ghost kitchen global diperkirakan akan tumbuh lebih dari 12 persen setiap tahunnya. Hal inilah yang membuat industri ghost kitchen bisa tumbuh hingga US$139,37 miliar, nyaris Rp2.000 triliun atau tepatnya Rp1.985 triliun pada tahun 2028.
Diperkirakan ada sekitar 7.500 ghost kitchen yang beroperasi di Tiongkok dan 3.500 di India. Ini jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, yang hanya memiliki 1.500 ghost kitchen.
Di Indonesia sendiri, usaha ghost kitchen kian populer. Salah satu operator, yakni Yummykitchen bahkan melakukan ekspansi dengan menambah 50 dapur baru hingga akhir tahun 2021.
Pada tahun 2018, Grab meluncurkan model ghost kitchen pertama mereka yang bernama Grabkitchen. Setahun kemudian, Gojek meluncurkan Dapur Bersama GoFood. Operator lainnya pun malang melintang di industri ini, di antaranya Everplate, Kita Kitchen, Telepot, dan Eatsii.
Haruskah disertifikasi halal?
Mengutip dari LPPOM MUI, sebagai fasilitas olahan makanan, maka perusahaan seperti ghost kitchen ini—baik untuk kepentingan hotel, restoran, maupun katering—termasuk dalam objek yang wajib melakukan proses sertifikasi halal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Sebagai pengelola ghost kitchen, maka produknya bisa dikategorikan jasa. Sementara, pemilik produk bisa dikategorikan sebagai produsen.
Dalam regulasi yang mewajibkan sertifikasi halal, maka kerja sama keduanya bisa diatur dan memberikan peran yang berbeda dalam menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH), bergantung siapa yang mempunyai peran lebih besar dalam mengelola risiko sebuah aktivitas kritis, sehingga status kehalalan produk yang dihasilkan senantiasa terjaga sepanjang berlakunya sertifikat halal.
"Sertifikasi halal ghost kitchen dapat dilakukan melalui Lembaga Pemeriksa Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPH LPPOM MUI), yang telah memperoleh sertifikat akreditasi SNI ISO/IEC 17065:2012 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan diakui oleh Lembaga Akreditasi di Timur Tengah, Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA)," papar Hendra Utama, Communication Advisor of LPPOM MUI, dalam laman resmi LPPOM MUI, dikutip Senin (22/11).
Tak hanya itu, kata dia, untuk bisa menjaga Sistem Jaminan Halal (SJH) diterapkan di perusahaan jasanya, maka pengelola harus memulai segalanya dengan komitmen bahwa akan selalu menjaga status kehalalan produk atau menu yang diproduksi di perusahaannya.
Dimulai dengan menyiapkan kriteria untuk setiap pemilik produk yang mau bekerja sama; jelas juga harus memasukkan aspek halal sebagai bagian dari klausul proposal kerja sama tersebut.
"Dengan demikian, pengelola jasa ghost kitchen akan lebih mudah menjaga semua proses yang terjadi di fasilitas dapur yang dimilikinya sehingga terjaga dari kontaminasi bahan haram dan najis. Artinya dengan kriteria tersebut, maka siapa pun yang bekerja sama dengannya sudah mempunyai radar kesadaran untuk menerapkan SJH secara baik dari peran yang akan dimainkannya dalam mendukung penerapan sistem yang sudah dikembangkan," katanya.
Kewajiban sertifikasi halal produk pangan
Kewajiban sertifikasi halal untuk produk pangan sudah dimulai sejak tahun 2019 secara bertahap; namun masih diberi kesempatan untuk melakukan proses sertifikasi halal hingga 2024. Artinya tanpa sertifikat halal, sebuah perusahaan pangan tidak bisa berjualan, kecuali produk perusahaan jelas-jelas tidak halal dan itu harus dinyatakan “produk tidak halal” pada kemasannya.
Hendra Utama memaparkan dalam SJH ada tiga faktor yang menjadi substansi halal, yakni bahan, produk/menu, dan fasilitas produk. Semua bahan yang digunakan di semua fasilitas dapur (jumlah dapur yang mungkin lebih dari satu di lokasi yang berbeda/terpisah) termasuk gudang beku, gudang dingin, dan gudang kering harus memenuhi persyaratan halal. Di samping itu, semua produk yang didaftarkan harus memenuhi persyaratan halal. Untuk mendukung eksistensi keduanya diperlukan fasilitas produksi yang senantiasa terjaga dari bahan haram dan najis.
Adapun nilai keuntungan dari ghost kitchen adalah lebih hemat biaya sewa tempat atau bisa tidak perlu sewa karena dikerjakan di rumah sendiri.
Kedua, dari segi risiko tentu lebih rendah, karena sumber daya yang dikorbankan berbiaya rendah—walaupun gagal tingkat kerugian bisa ditekan. Ketiga, lebih mudah beradaptasi ketika pilihan produk yang pertama tidak berjalan atau tidak diminati pasar, bisa beralih (switch) dengan cepat untuk mencari produk yang lebih dibutuhkan atau disukai konsumen.