Jakarta, FORTUNE – Perhimpunan Hotel Dan Restoran Indonesia (PHRI) mengomentari kewajiban Sertifikasi Halal yang akan berlaku pada 17 Oktober 2024. Hinggi kini, total restoran yang memiliki sertifikasi halal baru mencapai 1 persen dari seluruh restoran yang ada di dalam negeri.
“Khususnya di PHRI. Yang mengikut hotel-restoran itu masih menyisakan banyak masalah (dalam kesiapannya),” kata Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, dalam konferensi pers Senin (30/9).
Minimnya jumlah restoran yang telah memiliki sertifikasi halal itu, menurutnya, disebabkan oleh mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan. Padahal, restoran punya banyak menu yang harus diperiksa.
“Biayanya bisa mencapai di atas Rp20 juta. Ini menjadi beban berat, terutama bagi banyak pelaku usaha. Tidak semua orang mampu memenuhi biaya ini,” kata Maulana.
Dia juga menyatakan kekhawatirannya tentang kompleksitas perubahan menu di restoran dan hotel, karena biasanya akan ada penyesuaian bergantung pada tema dan masa.
"Menu di restoran atau hotel bisa berubah. Misalnya selama Ramadan, dan itu harus disertifikasi lagi. Ini berarti semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk ratusan menu," ujarnya.
Selain urusan biaya, persoalan lain yang mengadang adalah adanya keterbatasan jumlah penyelia halal.
"Kalau penyelia halal di restoran tiba-tiba berhenti bekerja, kami harus membayar lagi untuk penyelia baru. Ini menambah biaya dan beban operasional," katanya.
Target mustahil dari PHRI
Pemerintah memang memberikan penundaan wajib sertifikasi halal untuk usaha mikro. Namun, Maulana mengatakan usaha kecil, menengah, dan besar tetap harus mematuhi aturan tanpa ada keringanan biaya. Hal ini menambah tantangan bagi industri.
Kendala lainnya muncul dalam hal persepsi mengenai produk non-halal.
“Di hotel, tidak hanya makanan yang harus disertifikasi halal, tapi bagaimana dengan minuman beralkohol? Persepsinya masih berbeda-beda. Sementara, hotel juga menyediakan minuman tersebut. Proses sosialisasi masih panjang,” ujarnya.
Maulana menekankan bahwa dengan hanya 1 persen pelaku industri yang telah tersertifikasi dan tenggat yang semakin dekat, pencapaian 100 persen dalam beberapa minggu ke depan tampaknya mustahil.
“Bahkan mencapai 50 persen saja rasanya sulit. Keterbatasan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) juga menjadi hambatan besar dalam sertifikasi di seluruh Indonesia,” katanya.
PHRI berharap agar pemerintah mempertimbangkan peninjauan kembali peraturan ini, mengingat besarnya biaya dan upaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku industri perhotelan dan restoran.
Sesuai ketentuan Undang-undang No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Keharusan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.