Jakarta, FORTUNE - Kabar merger Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN Syariah) dengan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) sudah lama berhembus sejak awal pembentukan BSI.
Direktur Utama BSI Hery Gunardi menjelaskan, upaya merger tersebut memang inisiatif langsung dari Pemerintah melalui Kementerian BUMN. Awalnya, BTN Syariah memang ingin digabungkan bersamaan dengan mergernya BNI Syariah, BRI Syariah hingga Bank Mandiri Syariah. Namun upaya tersebut terhalang oleh regulasi.
"Pada saat itu saya menjadi ketua melihat bahwa kalau sekaligus dikerjakan agak ruwet gitu ya. Artinya nanti malah mengganggu proses penggabungan untuk BNIS, BRIS dan BSM. Jadi kita gabungkan dulu Bank Umum Syariah (BUS)-nya," kata Hery melaui konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu (1/2).
BTN Syariah harus spin-off sebelum merger
Hery menambahkan, penggabungan UUS bank tidak semudah penggabungan BUS karena berbenturan dengan regulasi. Tak hanya itu, dengan masih terbentuknya UUS, maka segala keputusan masih ada campur tangan induk.
Hery menyarankan untuk UUS BTN (BTN Syariah) harus bisa spin-off terlebih dahulu dengan induknya bila ingin digabungkan dengan BSI. Namun demikian, hingga saat ini keputusan skema merger masih belum diputuskan oleh pemegang saham.
"Barangkali dengan BTN spin off dulu. kemudian mereka rapi-rapiin nah setelah itu baru kita lihat lagi. Kemungkinannya mau gimana gitu," kata Hery.
BSI kejar aset Rp500 triliun di 2025
Hery sebelumnya juga mengkungkapkan, sejak awal bedirinya BSI, pihaknya mentargetkan pembukuan aset Rp500 triliun di 2025. Hingga saat ini, menurutnya target tersebut masih realistis untuk diwujudkan.
"Kita ingin mencapai aset Rp500 triliun di tahun 2025. Jadi sampai Desember 2022 itu aset kita sudah mencapai Rp306 triliun," kata Hery.
Dengan realisasi saat ini, menurutnya masih ada dua opsi pemupukan aset mulai dari anorganik dan organik. Untuk opsi anorganik, pihaknya masih terus mematangkan niat dan strategi agar BTN Syariah bisa bergabung.
"Kalau organik, jadi kalau asetnya Rp 300 triliun, kalau tumbuhnya 20 persen (di 2022) kan ada Rp60 triliun ya nambahnya (pertahun). Itu cukuplah sampai 2025 jadi Rp500 triliun," kata Hery.