Mulai 2026, Kosmetik Impor Wajib Bersertifikat Halal

Jakarta, FORTUNE - Mulai 17 Oktober 2026, seluruh produk kosmetik dan perawatan kulit impor boleh dipasarkan di Indonesia apabila telah mengantongi sertifikat halal. Kewajiban ini juga berlaku untuk merek lokal. Ketetapan ini mengacu pada sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2024, serta Peraturan BPOM No. 33 Tahun 2021 yang memasukkan kosmetik dan skincare ke dalam kategori produk yang harus bersertifikat halal.
Kebijakan ini diberlakukan secara bertahap melalui masa transisi lima tahun yang dimulai sejak 17 Oktober 2021. Dengan demikian, para pelaku usaha, baik merek lokal maupun internasional, memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan diri dan mengajukan sertifikasi halal secara sukarela sebelum penerapan wajib dimulai pada 2026.
Dalam konteks kosmetik, sertifikasi halal berarti seluruh bahan baku dan proses produksinya tidak boleh mengandung unsur haram seperti alkohol, bahan turunan hewan yang tidak disembelih sesuai syariat, atau potensi kontaminasi silang.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 161 PP 42/2024, yang menegaskan bahwa mulai 17 Oktober 2026, semua produk kosmetik, termasuk impor, harus memiliki sertifikat halal. Bila tidak dipenuhi, pelaku usaha bisa dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penarikan produk dari peredaran, dan sanksi administratif lainnya.
Sebagai langkah antisipatif, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) saat ini sedang menyusun pedoman teknis sertifikasi halal untuk produk kosmetik. Penyusunan ini dibuka secara resmi dalam forum perdana pada Kamis, 17 Juli 2025.
“Penyusunan pedoman ini membutuhkan kolaborasi erat antar pemangku kepentingan. Tujuannya adalah menghadirkan standar halal yang jelas, integratif, dan memberikan kepastian bagi pelaku usaha sekaligus perlindungan bagi konsumen,” ujar Abd Syakur, Deputi Bidang Kemitraan dan Standardisasi Halal BPJPH, dalam keterangannya pada Jumat (25/7).
Syakur menjelaskan bahwa penyusunan pedoman dimulai dari perumusan struktur dan substansi utama sebagai dasar pelaksanaan sertifikasi halal kosmetik. Setelah itu, BPJPH akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait untuk memastikan harmonisasi dengan regulasi sektoral yang ada.
Adapun pihak-pihak yang dilibatkan dalam proses ini antara lain Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, serta Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).
“Melalui penyusunan pedoman ini, diharapkan terwujud harmonisasi regulasi yang menghasilkan pedoman yang aplikatif dan responsif terhadap dinamika industri,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pedoman ini akan menjadi fondasi penting agar proses sertifikasi halal dapat berjalan efisien, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan industri—baik di tingkat nasional maupun internasional. “Juga, mendorong daya saing produk kosmetik halal Indonesia di pasar halal global yang terus berkembang,” tutur Syakur.
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, menuturkan bahwa proses sertifikasi halal untuk produk kosmetik tidak hanya terbatas pada kehalalan bahan yang digunakan, tetapi juga mencakup keseluruhan proses produksi serta pemilihan nama produk. Ia juga menyoroti pentingnya proses verifikasi bahan—termasuk memastikan tidak adanya kandungan berbahaya—dan menekankan perlunya penamaan serta label produk yang tidak membingungkan atau menyesatkan konsumen.
"Kita pastikan juga prosesnya seperti apa. Jangan sapai nanti bahan-bahannya sudah halal, tidak ada yang najis tapi ternyata menggunakan fasilitas produksi yang digunakan bersama untuk produk lain yang sama-sama kosmetik tapi tidak halal, karena di industri kosmetik sangat umum ada maklon. Tracking itu juga yang kita lakukan dalam proses audit," katanya, mengutip CNBC.
Penerapan aturan ini diharapkan mampu memperkuat kepercayaan masyarakat sekaligus mendorong daya saing industri kosmetik halal Indonesia, baik di pasar lokal maupun internasional.