Peringkat Ekonomi Syariah Indonesia Stagnan, Ekspor Halal Jadi PR Besar

- Indonesia menempati posisi ketiga dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 selama tiga tahun berturut-turut.
- Investasi halal Indonesia mencapai US$1,6 miliar dari 40 transaksi, tertinggi di antara negara OKI.
- Ada defisit perdagangan halal yang harus segera diatasi.
Jakarta, FORTUNE - Indonesia kembali menempati posisi ketiga dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025, peringkat yang tidak berubah selama tiga tahun berturut-turut. Meski menunjukkan stabilitas, capaian ini menjadi sinyal bahwa ekonomi syariah Indonesia menghadapi tantangan serius meningkatkan daya saing, terutama dalam hal ekspor produk halal yang masih tertinggal.
Laporan yang dirilis DinarStandard pada Selasa (8/7) ini menyoroti kinerja Indonesia yang belum merata. Indonesia memang unggul sebagai peringkat pertama dunia pada sektor modest fashion dan urutan kedua untuk pariwisata ramah Muslim. Namun, pada sektor strategis seperti makanan halal, Indonesia hanya menempati peringkat keenam.
“Indonesia menempati peringkat ketiga dalam Indeks Ekonomi Islam Global (GIEI), menunjukkan stabilitas ekosistemnya dalam mengonversi ekonomi halal ke dalam pertumbuhan yang inklusif dan berbasis inovasi,” demikian laporan SGIE.
Ironisnya, di tengah tantangan ekspor, Indonesia justru mencatatkan prestasi gemilang dari sisi investasi. Sepanjang 2023, total investasi halal yang masuk mencapai US$1,6 miliar dari 40 transaksi, tertinggi di antara negara−negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Angka ini melampaui Uni Emirat Arab pada posisi kedua (US$1,53 miliar).
Namun, SGIE menyoroti investasi tersebut masih terkonsentrasi pada sektor media dan digital, belum menyentuh secara signifikan sektor strategis seperti kosmetik dan fesyen Muslim.
“Indonesia unggul dalam investasi dan fesyen, tapi masih belum optimal dalam ekspor produk halal,” ujar Reem El Shafaki, Partner DinarStandard, dalam acara peluncuran laporan SGIE di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (8/7).
Lebih lanjut, Reem mengungkapkan adanya ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan. Meskipun masuk 10 besar negara pengekspor produk halal, Indonesia secara bersamaan tercatat sebagai importir produk halal terbesar keempat di dunia.
“Artinya, ada defisit perdagangan halal yang harus segera diatasi,” kata Reem.
Reem juga mengingatkan bahwa lima negara eksportir halal terbesar saat ini justru bukan anggota OKI, melainkan Cina, India, Rusia, Brasil, dan Amerika Serikat. Hal ini menegaskan urgensi bagi Indonesia memperkuat basis produksi dalam negeri demi merebut dominasi pasar halal global.
Menanggapi hal ini, Wakil Presiden Indonesia periode 2019–2024, KH Ma’ruf Amin, mengakui capaian yang ada masih jauh dari potensi sesungguhnya.
“Kita memulai dari peringkat 10, lalu naik ke 8, 5, dan sekarang 3. Ke depan, kita ingin sampai ke peringkat pertama,” ujar Ma’ruf.
Pemerintah, menurut Ma'ruf, tengah menyiapkan pembentukan Badan Ekonomi Syariah yang dirancang lebih fleksibel untuk menyentuh langsung kegiatan ekonomi riil. Kebijakan ini juga telah terintegrasi dalam RPJPN 2025–2045.
Empat area utama yang menjadi fokus adalah:
Membangun industri halal Indonesia secara menyeluruh dari hulu ke hilir.
Memperluas peran keuangan syariah untuk menyokong sektor produktif.
Memperkuat pengelolaan zakat dan wakaf.
Memberdayakan UMKM berbasis syariah agar menembus rantai pasok global.
Sapta Nirwandar, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), menambahkan ekosistem halal nasional perlu diperkuat demi menghubungkan satu sektor dengan yang lain.
“Strategi ekspor juga harus disesuaikan dengan karakter tiap pasar,” ujarnya.
Untuk mencapai target peringkat puncak, laporan SGIE 2025 merekomendasikan tiga langkah utama: menyelaraskan standar halal nasional dengan standar global, memperluas pembiayaan syariah ke sektor riil, dan mempercepat adopsi digitalisasi.
“Momentum sudah ada, tapi tak boleh berhenti di sini. Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pemain utama, tapi itu perlu aksi nyata,” kata Reem.