Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

AI Bisa Merevolusi Kesehatan Mental, tetapi Ada Risiko Miengintai

ilustrasi artificial intelligence (unsplash/steve johnson)

Jakarta, FORTUNE - Sandra Matz, ilmuwan sosial komputasional dan profesor di Columbia Business School, menyatakan bahwa kecerdasan buatan (AI) berpotensi mengubah lanskap kesehatan mental secara revolusioner. Namun, perubahan ini juga datang dengan risiko besar yang perlu diwaspadai.

Menurut Matz, lebih dari satu dari lima orang dewasa di AS mengalami masalah kesehatan mental, tetapi kurang dari setengahnya mendapatkan perawatan profesional. Demikian diungkap kepada Fortune.com, dikutip Senin (17/2).

Di tingkat global, kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga profesional sangat besar, dengan satu tenaga kesehatan mental harus melayani lebih dari 10.000 klien potensial. Kondisi ini terus memburuk dari tahun ke tahun.

Laporan dari National Center for Health Workforce Analysis memperkirakan bahwa pada tahun 2036 akan ada kebutuhan tambahan 60.000 profesional kesehatan mental, tetapi jumlah tenaga kerja justru diprediksi berkurang lebih dari 10.000.

AI sebagai solusi

Untuk mengatasi krisis ini, pendekatan terhadap kesehatan mental perlu direvolusi, dan AI diyakini dapat menjadi katalis utama dalam perubahan tersebut. AI dapat mendemokratisasi akses ke layanan kesehatan mental dengan menghapus pendekatan one-size-fits-all yang hanya berfokus pada mengobati penyakit mental akut.

Sebaliknya, AI dapat memungkinkan pendekatan yang lebih adil dan dipersonalisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan psikologis secara proaktif.

Kemajuan pesat dalam teknologi, terutama di bidang Generative AI, menjadikan gagasan ini semakin nyata. Pada 2023, pasar AI untuk kesehatan mental global bernilai lebih dari 921 juta dolar AS dan diperkirakan akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 30,8 persen hingga tahun 2032.

AI sebagai pendamping kesehatan mental

AI memiliki potensi besar dalam memantau dan mendukung kesehatan mental seseorang. Misalnya, ponsel pintar dan jam tangan pintar dapat menjadi alat pemantau yang mendeteksi perubahan pola tidur, kebiasaan sosial, hingga kecenderungan doomscrolling yang bisa menjadi indikator seseorang sedang mengalami masalah mental.

“Alih-alih membiarkan wawasan ini hanya dimanfaatkan perusahaan untuk keuntungan mereka, AI bisa digunakan untuk membangun sistem peringatan dini yang memberi tahu pengguna—dan jika diinginkan, dokter atau pihak terpercaya lainnya—tentang perubahan abnormal dalam perilaku mereka,” ujar Matz.

Selain pemantauan, AI juga dapat berperan dalam intervensi kesehatan mental. Algoritma prediktif mampu mengidentifikasi metode perawatan yang paling efektif bagi individu berdasarkan profil psikologis, lingkungan sosial-ekonomi, serta riwayat perawatan sebelumnya.

Lebih jauh, Generative AI mengubah cara terapi dilakukan. Jika dulu aplikasi kesehatan mental terasa kaku dan terbatas dalam interaksi, kini chatbot berbasis AI dapat berkomunikasi dengan cara yang lebih empatik dan kontekstual, bahkan mendekati percakapan dengan terapis manusia.

Namun, Matz menegaskan bahwa AI tidak akan menggantikan peran profesional kesehatan mental. “Teknologi ini dirancang untuk melengkapi layanan yang ada, bukan menggantikannya,” katanya. AI dapat menjadi solusi bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya terapi yang mahal atau mereka yang enggan mencari bantuan karena stigma sosial. AI juga dapat menyediakan layanan di luar jam kerja reguler, di mana sekitar 70 persen percakapan dengan chatbot AI terjadi pada waktu-waktu tersebut.

Tantangan dan risiko AI

Meski memiliki banyak potensi, AI dalam kesehatan mental juga membawa risiko serius. Dalam kasus ekstrem, AI bisa lebih banyak menimbulkan bahaya dibanding manfaat. Tragedi bunuh diri seorang remaja setelah menggunakan Character.AI menjadi peringatan bahwa sistem AI dapat meniru empati tanpa benar-benar memahami penderitaan manusia.

“Tanpa batasan yang jelas untuk memastikan akuntabilitas dan mendorong pengguna mencari bantuan di luar layar ponsel mereka, AI bisa secara tidak sengaja menggantikan kebutuhan manusia untuk terhubung secara emosional dengan sesama,” kata Matz.

Selain itu, ada juga risiko ketergantungan terhadap perusahaan yang mengendalikan model AI, seperti OpenAI (ChatGPT), Google (Gemini), atau Anthropic (Claude). Jika OpenAI tiba-tiba menghentikan akses ke ChatGPT, jutaan orang bisa kehilangan dukungan mental yang telah mereka andalkan.

Sejarah media sosial seperti Facebook dan YouTube telah menunjukkan bahwa pendekatan "move fast and break things" dapat berdampak negatif jika tidak diatur dengan baik. Oleh karena itu, Matz menekankan pentingnya pendekatan yang lebih bertanggung jawab dalam pengembangan AI untuk kesehatan mental.

“Kita memerlukan uji coba ketat, perlindungan privasi data yang kuat, serta keterlibatan profesional kesehatan mental dan pembuat kebijakan dalam desain dan implementasi AI,” pungkasnya.

Dengan pendekatan yang tepat, AI bisa menjadi kekuatan positif dalam revolusi kesehatan mental tanpa mengorbankan kepercayaan dan kesejahteraan individu.

Share
Topics
Editorial Team
pingit aria mutiara fajrin
Editorpingit aria mutiara fajrin