Jakarta, FORTUNE – Persona gender Perempuan kerap dianggap lebih memiliki kredibilitas di dalam Dunia Maya, baik sekadar untuk karakter chatbot AI (Artificial Intelligence) atau bahkan agen propaganda negara-negara seperti Cina atau Rusia.
Profesor pemasaran dan peneliti online di Toulouse, Prancis, Sylvie Borau, mengatakan bahwa pengguna internet lebih suka bot ‘perempuan’, dan melihatnya lebih manusiawi dibandingkan versi ‘laki-laki’. “Menyertakan emosi dan kehangatan dan cara yang sangat mudah untuk melakukannya adalah dengan memilih wajah dan suara wanita,” katanya seperti dikutip dari APNews, Selasa (18/6).
Menurutnya, masyarakat cenderung melihat perempuan sebagai sosok yang lebih hangat, tidak terlalu mengancam, dan lebih menyenangkan. Sedangkan, laki-laki sering kali dianggap lebih kompeten tetapi juga lebih cenderung mengancam atau bermusuhan. Oleh karena itu, secara sadar atau tidak, banyak akun palsu (di dunia maya) yang menyatakan diri sebagai perempuan.
Bahan propaganda
Perusahaan teknologi yang mendeteksi bot, Cyabra, mengungkapkan bahwa profil media sosial perempuan rata-rata menerima lebih dari tiga kali lipat penayangan dibandingkan laki-laki. “Membuat akun palsu dan menampilkannya sebagai seorang wanita akan membantu akun tersebut mendapatkan lebih banyak jangkauan dibandingkan dengan menampilkannya sebagai seorang pria,” menurut analisis Cyabra pada lebih dari 40.000 profil bot di dunia maya.
Fenomena ini pun disebut jadi dasar bagi negara-negara seperti Cina dan Rusia, yang telah lama menggunakan perempuan palsu untuk menyebarkan propaganda dan disinformasi. Kampanye-kampanye ini seringkali mengeksploitasi pandangan masyarakat terhadap perempuan.
“Ada yang tampil sebagai nenek-nenek yang bijaksana dan mengasuh, menyebarkan kebijaksanaan buatan sendiri, sementara yang lain meniru perempuan-perempuan muda yang secara konvensional menarik dan ingin sekali membicarakan politik dengan laki-laki yang lebih tua,” tulis APNews.
Kesenjangan gender
Pengguna internet juga memperlakukan bot secara berbeda berdasarkan jenis kelamin mereka. Penelitian Borau menemukan bahwa chatbot berkarakter ‘perempuan’ jauh lebih mungkin menerima pelecehan dan ancaman seksual dibandingkan bot ‘laki-laki’.
Menurut Borau, programmer yang ingin menjadikan chatbot mereka semanusiawi mungkin bisa menimbulkan dilema. Hal ini memunculkan pertanyaan tentangan pandangan seksis para pengembang tentang perempuan di dunia nyata. “Memanusiakan AI, mungkin tidak memanusiakan perempuan,” katanya. “Ini adalah lingkaran setan.”
Hal ini juga didukung oleh laporan PBB yang menunjukkan banyaknya akun palsu dan chatbot bergender perempuan adalah karena mereka dibuat oleh kaum laki-laki. Laporan berjuduk ‘Are Robots Sexist’ ini menympulkan bahwa keragaman yang lebih besar dalam pemrograman dan pengembangan AI dapat mengurangi stereotip seksis yang tertanam dalam produk mereka.
Stereotip lama
Meski bukan hal baru, APNews menyebutkan bahwa nama perempuan sudah sejak dulu disematkan sebagai nama dari kapal-kapal penjelajah. Namun, pertanyaan tentang bagaimana teknologi ini dapat mencerminkan dan memperkuat stereotip gender semakin besar, seiring makin banyaknya asisten suara dan chatbot berkemampuan AI yang memasuki pasar, sehingga semakin mengaburkan batasan antara pria (dan wanita) dan mesin.
Sebagai contoh adalah ketika CEO OpenAI, Sam Altman, sempat bermasalah dengan Scarlett Johansson, karena dituduh menyertakan suara sang aktris ke dalam aplikasi ChatGPT. “Johansson menolak permintaan Altman dan mengancam akan menuntut ketika perusahaan tersebut mengeluarkan apa yang dia sebut sebagai suara yang ‘sangat mirip’. OpenAI pun menunda penerapan suara baru ini,” tulis APNews.
Dengan demikian, meskipun teknologi mungkin berkembang semakin canggih, otak manusia tetap mudah diretas berkat stereotip gender kuno yang telah ada. bermigrasi dari dunia nyata ke dunia maya.