Jakarta, FORTUNE – IBM Indonesia menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyepakati kerja sama dalam memperkuat ekosistem Keamanan Siber di sektor publik dan swasta Indonesia.
Presiden Direktur IBM Indonesia, Roy Kosasih, mengatakanpertumbuhan ekonomi di Indonesia akan menarik perhatian para pelaku kejahatan siber. “Oleh karena itu, sangat penting bagi kita dan lapisan masyarakat bersiap menghadapi tantangan siber yang akan datang,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Rabu (13/11).
Pewat kerja sama ini, IBM Indonesia akan berbagi pengetahuan dan pengalaman global yang dimiliki perusahaan teknologi ini kepada BSSN. Kolaborasi ini akan mencakup analisis keamanan siber, pengembangan kapasitas, intelijen ancaman, dan penguatan sistem arsitektur keamanan.
Kedua institusi, IBM secara bersama-sama mengeksplorasi dan meningkatkan kapasitas dan postur keamanan siber di Tanah Air. Kerja sama ini akan saling menguntungkan dan didasarkan sesuai Undang-Undang yang berlaku.
Sejalan tujuan pemerintah
Sementara itu, Kepala BSSN, Hinsa Siburian, mengatakan bahwa kerja sama ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mengamankan ekosistem digital nasional. “Indonesia, bersama dengan negara-negara lain, mengalami peningkatan serangan siber dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Kolaborasi ini menjadi langkah penting, terutama di dalam memperkuat kebijakan, kapasitas, dan talenta kami untuk membantu menumbuhkan infrastruktur yang aman, terpercaya dan terjamin, sejalan dengan Strategi Keamanan Siber Nasional Indonesia.
Situasi rentan
Pendiri dan Koordinator Forum Keamanan Siber dan Informasi, Gildas Deograt, mengatakan bahwa kondisi keamanan siber di Indonesia kini sangat terbuka dan rentan pada berbagai ancaman.
Pertumbuhan bidang teknologi yang tidak disertai infrastruktur keamanan siber yang memadai akan mempermudah para pelaku jekahatan untuk mengeksploitasi berbagai celah keamanan.
Meski begitu, ia mengakui bahwa struktur keamanan siber yang ada sudah mengarah ke model yang lebih besar. “Sekitar 95 persen lebih dari implementasi keamanan siber di Indonesia sudah mengadopsi model rantai besar, namun kekuatannya masih seperti tali plastik,” kata Gildas.
Salah satu permasalahan yang cukup mendasar adalah kurangnya kesadaran dalam menyikapi potensi masalah keamanan siber yang terjadi. Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya, 99 persen pengguna internet di Indonesia, seringkali memilih melanjutkan tindakan meski ada peringatan keamanan sebelumnya. Sayangnya, hal ini juga diikuti oleh para profesional di bidang keamanan siber, di mana 95 persennya masih mengabaikan peringatan tersebut.
Menurutnya, mengubah mindset memang sangat sulit, tetapi harus dilakukan agar kita bisa mengurangi dampak ancaman yang terus berkembang. "Selain itu, orang hanya bicara soal people, process, dan technology, tetapi aspek physical security diabaikan, padahal aspek ini penting,” ujar Gildas.