Pengembang Teknologi AI Nvidia Raih Posisi Puncak di Wall Street

Nilai pasar Nvidia mencapai lebih dari US$3 triliun.

Pengembang Teknologi AI Nvidia Raih Posisi Puncak di Wall Street
Logo Nvidia. (Jacek Abramowicz/Pixabay)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Perusahaan pengembang Teknologi AI (Artificial Intelligence), Nvidia, menjadi perusahaan paling berharga di Wall Street, dengan nilai pasar yang mencapai lebih dari US$3 triliun atau Rp49,06 kuadriliun (kurs Rp16.352,75 per dolar AS) dengan kenaikan sekitar 3,5 persen.

Dikutip dari Fortune.com, pergerakan mengejutkan dari Nvidia menjadi faktor utama yang  mendorong penguatan indeks S&P 500. “S&P 500 bertambah 0,3 persen dan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa untuk ke-31 kalinya tahun ini,” tulis media yang berkantor di Amerika Serikat tersebut, Rabu (19/6).

Nvidia menempati posisi teratas di Wall Street menggantikan Microsoft, yang sempat bersaing sengit dengan Apple usai berhasil merebut posisi itu dari korporasi migas raksasa Exxon Mobil dan produsen rokok Philip Morris. Nvidia memanfaatkan gelombang lonjakan teknologi yang lebih spesifik dalam bidang kecerdasan buatan.

Dominasi perusahaan teknologi

Menurut Fortune.com, chip Nvidia membantu mengembangkan AI, yang diharapkan oleh para pendukungnya dapat mengubah dunia lebih dari sekedar internet, dan permintaan terhadap chip Nvidia terbukti sangat besar.

Hal ini menyebabkan pendapatan Nvidia meningkat tiga kali lipat setiap kuartal, dan labanya meroket dengan cepat.

“Sahamnya naik hampir 174 persen tahun ini, dan Nvidia sendiri bertanggung jawab atas hampir sepertiga dari keseluruhan kenaikan S&P 500 untuk tahun ini hingga bulan Mei,” tulis kajian Fortune.com.

Sebelumnya, posisi Nvidia saat ini dikuasai oleh Microsoft dan Apple secara bergantian. Kedua perusahaan ini merupakan garda depan Big Tech, yang merupakan kekuatan dominan di pasar saham AS setelah mengumpulkan kekuatan melalui digitalisasi dunia.

Melihat dominasi perusahaan-perusahaan teknologi di pasar saham AS, Fortune menganggap pasar yang lebih rapuh jadi potensi bahaya, jika segelintir perusahaan saja yang berkontribusi pada sebagian besar rekor saham di AS. “Jika lebih banyak saham yang berpartisipasi, ini bisa menjadi sinyal pasar yang lebih sehat,” menurut laporan tersebut.

Penurunan imbal hasil pasar obligasi

Secara umum, saham-saham di AS mendapat dorongan pada hari Selasa (18/6), seiring penurunan imbal hasil di pasar obligasi. Imbal hasil Treasury turun setelah sebuah laporan menunjukkan penjualan di pengecer AS kembali tumbuh pada bulan lalu namun tetap di bawah ekspektasi para ekonom.

Situasi ini bisa jadi sinyal menggembirakan bagi Federal Reserve (The Fed), yang sedang mencoba melakukan tindakan penyeimbangan yang ketat bagi perekonomian. The Fed ingin memperlambat perekonomian melalui suku bunga tinggi agar inflasi terkendali.

“Harapannya adalah bahwa mereka akan memangkas suku bunga utamanya, yang berada pada tingkat tertinggi dalam dua dekade, sehingga perlambatan tersebut dapat berhenti dan tidak menimbulkan resesi yang menyakitkan,” tulis laman Fortune.com.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

IDN Channels

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Beban Kerja Tinggi dan Gaji Rendah, Great Resignation Marak Lagi
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil