Jakarta, FORTUNE - Elon Musk dan Mark Zuckerberg, dua nama besar dalam jagat teknologi, dituding bersalah karena turut mendidihkan emosi kolektif warga dunia demi beroleh cuan.
Sosok yang memojokkan mereka berdua, juga bikin satu mogul lagi kegerahan, yakni CEO TikTok, Shou Chew, bukan orang biasa. Dia adalah Bill Ackman yang terkenal sebagai investor Wall Street superkaya.
Menurutnya, ketiga pebisnis tersebut memiliki sumbangsih dalam memicu perpecahan rasial, etnis, agama, dan lintas generasi sehingga memperparah derita banyak orang, dan menimbulkan korban jiwa dari pihak tidak bersalah.
Dia percaya Facebook, Instagram, Threads, Twitter/X, atau TikTok yang bersandar pada algoritma untuk menyuapi para penggunanya dengan rasa marah demi terus berinteraksi pada platform-platform tersebut membuat kebencian kian menumpuk.
"Media sosial memperbesar kebencian selama satu dasawarsa ini seiring dengan algoritma yang tak henti merisaukan kita," ujar CEO Pershing Square itu dikutip Fortune.com. "Jika hal ini tidak diperbaiki, kemanusiaan akan sirna, dan saat itu semuanya sudah terlambat."
Kritik terutama dia layangkan ke TikTok yang bernaung pada ByteDance, sebuah perusahaan Cina.
“TikTok harus dilarang. Negara asing tidak seharusnya mengendalikan pikiran generasi pemimpin kita yang selanjutnya," katanya.
Media sosial sebagai alat
Bagaimanapun, media sosial memiliki posisi sama dengan perangkat komunikasi lain—jika berada di tangan yang benar, potensinya untuk memberikan faedah juga besar. Namun, sebaliknya, jika ada di tangan yang salah, media sosial dapat menjadi senjata berbahaya.
Platform seperti X atau Threads sering kali menyebarkan informasi di internet yang belum sempat diverifikasi.
Para 'pemain antagonis' dapat memanfaatkan karakteristiknya yang sedemikian untuk menyebarkan konten dengan sengaja demi membangkitkan emosi pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya.
Dibandingkan dengan media tradisional di televisi yang harus melalui prosedur ketat tertentu sebelum menayangkan suatu tayangan video, konten yang pengguna media sosial konsumsi sulit dipertanggungjawabkan.