AI Generatif Mengancam Industri Musik, Bernarkah?

Ancaman baru bagi hak cipta musik.

AI Generatif Mengancam Industri Musik, Bernarkah?
ilustrasi produksi musik (unsplash/john hult)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Industri Musik kembali menghadapi perubahan besar dengan munculnya Kecerdasan Buatan (AI) generatif yang dinilai akan mengancam hak cipta dan pencipta.

Salah satu pemimpin awal Apple Music Group, David Pakman, menyampaikan pandangannya mengenai bagaimana AI akan mengubah cara musik diciptakan dan didistribusikan. Berbagai situasi yang dogambarkan mencerminkan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh para seniman di tengah perkembangan teknologi ini. “Inilah bagaimana AI akan mengubah industri musik,” ungkapnya, dilansir dari Fortune.com.

Pada tahun 1995, ketika internet mulai berkembang sebagai media massa dan hiburan digital, pendiri Apple Music Group tersebut membantu merintis Apple Music Group, yang kemudian melahirkan iTunes dan toko musik digital. "Saya berharap dapat menciptakan cara baru bagi para seniman untuk menjangkau penggemar mereka," ujarnya.

Namun, ia juga menyaksikan bagaimana kemunculan MP3, layanan streaming musik, dan aplikasi berbagi seperti Napster mulai melanggar batas hak cipta dan mengubah model bisnis distribusi musik.

Teknologi AI dan ancaman baru

Kini, ancaman baru muncul dari teknologi AI generatif, yang mampu menciptakan musik baru tanpa melibatkan pencipta asli. "Ada risiko bahwa pencipta manusia akan menjadi bahan baku bagi konten sintetis AI yang dihasilkan dari model bahasa besar (LLM) tanpa persetujuan eksplisit dari artis asli," jelasnya. Teknologi ini telah memicu perdebatan besar tentang bagaimana musik baru seharusnya diciptakan.

Dalam 20 tahun terakhir, teknologi telah semakin tersedia dan seniman menjadi lebih melek teknologi. Namun, meskipun distribusi musik digital telah memperluas akses publik, sebagian besar musisi dan penulis lagu masih tidak puas dengan pembagian keuntungan yang mereka terima.

“Puluhan ribu pengecer musik tradisional telah menghilang, digantikan oleh segelintir penyedia streaming yang sangat terkonsentrasi, termasuk Apple, Spotify, dan Amazon,” tambahnya.

Meski begitu, bintang besar seperti Taylor Swift tetap berjuang untuk mendapatkan royalti yang lebih baik, seperti yang dilakukannya ketika ia menghapus seluruh katalognya dari Spotify hingga layanan tersebut menaikkan royalti.

Namun, ancaman dari AI kini lebih besar, karena AI generatif mulai menantang tidak hanya cara musik didistribusikan, tetapi juga cara musik diciptakan.

Apakah AI melanggar hukum?

Pertanyaan yang muncul kini bukan hanya soal keadilan, tetapi juga legalitas. "Penulis, blogger, vlogger YouTube, musisi, dan jurnalis semuanya telah membantu memberi makan LLM yang sekarang mengancam untuk menghancurkan—atau setidaknya secara fundamental mengubah—mata pencaharian mereka," ujarnya. Para pencipta merasa bahwa menciptakan musik sintetis AI tanpa membayar data pelatihan sangat tidak adil. Namun, apakah itu legal?

Di Amerika Serikat, tuntutan hukum terkait penggunaan data untuk melatih LLM telah muncul. New York Times menggugat Microsoft dan OpenAI atas dugaan pelanggaran hak cipta, sementara tujuh label rekaman besar menggugat perusahaan di balik Suno AI, layanan yang memungkinkan pembuatan musik digital dalam hitungan detik berdasarkan prompt pengguna.

Sementara pengadilan masih menentukan apakah melatih LLM menggunakan data publik termasuk "penggunaan wajar", teknologi blockchain menawarkan solusi potensial bagi pencipta untuk melindungi karya mereka.

"Blockchain adalah sistem kontrak yang beroperasi sebagai buku besar publik yang tidak dapat diubah, yang dapat melindungi kekayaan intelektual seniman," jelasnya.

Blockchain memungkinkan pencipta untuk memberikan cap waktu pada setiap karya mereka dan menghubungkannya dengan pemilik sah. Ini memungkinkan pencipta melacak penggunaan karya mereka dalam pelatihan AI, dan bahkan memungkinkan pembagian royalti secara transparan untuk karya baru yang dihasilkan.

Salah satu contoh sinergi antara AI dan blockchain adalah penyanyi Grimes yang menggunakan teknologi AI melalui platform Elf.Tech. “Grimes telah mendorong batasan dengan perangkat lunak beta AI yang mengubah vokal pengguna menjadi suara Grimes sendiri,” katanya. Hal ini memungkinkan penggemar untuk merilis lagu secara komersial dan mendapatkan hingga setengah dari royalti.

Seiring berlanjutnya perdebatan tentang AI dan hak cipta, blockchain dapat menjadi jalan maju yang layak bagi para seniman. Dengan menggunakan blockchain, pencipta dapat mengambil kendali atas masa depan digital mereka, melindungi kekayaan intelektual, dan memanfaatkan teknologi AI sebagai alat kolaborasi, bukan ancaman.

Jika seniman ingin tetap relevan di tengah gelombang AI, mereka harus beradaptasi dengan cepat. Seperti yang dikatakan David Pakman, "Ini bukanlah pertarungan David melawan Goliath—ini hanya pilihan untuk beradaptasi, seperti yang dilakukan pencipta musik 20 tahun yang lalu."

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

IDN Channels

Most Popular

Mega Insurance dan MSIG Indonesia Kolaborasi Luncurkan M-Assist
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Booming Chip Dorong Pertumbuhan Ekonomi Singapura
Dorong Bisnis, Starbucks Jajaki Kemitraan Strategis di Cina
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024
Pimpinan G20 Sepakat Kerja Sama Pajaki Kelompok Super Kaya