Jakarta, FORTUNE - Perusahaan-perusahaan skala menengah di Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan lebih cenderung memberikan prioritas tinggi pada Kecerdasan Buatan generatif (Gen AI) dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang telah berhasil meningkatkan pendapatannya - meskipun semua perusahaan tersebut mengadopsi inovasi-inovasi AI baru di setiap lini bisnis mereka.
Sebuah studi terbaru dari SAP menemukan bahwa perusahaan-perusahaan skala menengah di Indonesia, yang didefinisikan sebagai perusahaan dengan jumlah karyawan antara 250 hingga 1.500 orang, dengan pertumbuhan pendapatan di bawah rata-rata, cenderung menempatkan prioritas tinggi pada adopsi Gen AI (60 persen) dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi (51 persen).
“Business AI merupakan peluang teknologi terbesar di abad ke-21 untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia,” ujar Utkarsh Maheshwari, Chief Partner Officer and Head of MidMarket, SAP Asia Pacific & Japan.
Akan tetapi, manfaat dari Business AI tidak terbatas pada perusahaan. Organisasi dengan skala apa pun dapat mewujudkan peluang yang dapat ditawarkan oleh AI yang relevan, handal, dan bertanggung jawab.
"Bukan hanya menghasilkan gambar atau membuat video. AI mengotomatiskan masalah sehari-hari, memberikan wawasan yang hebat dengan cepat, dan memecahkan masalah bisnis sederhana dengan andal," ujarnya, menambahkan.
Riset SAP Insights ini mengumpulkan data dari 12.003 responden di 20 negara dan 28 industri. Responden berasal dari perusahaan dengan jumlah karyawan 250 hingga 1.500, dengan posisi dari direktur hingga C-suite. Studi ini dilakukan pada Maret-April 2024 melalui survei daring.
Mengadopsi AI menjadi prioritas utama perusahaan di Indonesia
Studi yang mensurvei 556 organisasi di Indonesia dan 12.003 organisasi di seluruh dunia ini menemukan bahwa penggunaan kecerdasan buatan merupakan prioritas utama bagi perusahaan kelas menengah.
Mengadopsi Gen AI merupakan prioritas sedang atau utama bagi 95 persen bisnis di Indonesia, sementara mengadopsi aplikasi bisnis standar AI seperti machine learning untuk analisis data dan analisis prediktif merupakan prioritas utama bagi 94 persen responden.
Prioritas utama lainnya termasuk ancaman keamanan siber (95 persen), kelestarian lingkungan (95 persen), dan mengatasi kesenjangan dalam rantai pasokan (93 persen).
Kecerdasan buatan dipandang sebagai prioritas untuk mengubah proses organisasi di setiap lini bisnis.
Selain itu, lebih dari enam dari sepuluh organisasi skala menengah di Indonesia menempatkan AI sebagai prioritas utama untuk mentransformasi keamanan dan privasi data (62 persen). Area utama lainnya yang dapat ditransformasikan oleh AI adalah meningkatkan pengambilan keputusan (57 persen), menciptakan model bisnis baru (50 persen), mengoptimalkan rantai pasokan (48 persen), mempersonalisasi pengalaman pengguna (46 persen), dan meningkatkan pengalaman pelanggan (46 persen).
AI menciptakan nilai tambah bagi bisnis
Riset SAP juga menunjukkan bahwa AI tidak hanya dirancang untuk memberikan manfaat di waktu mendatang. AI sedang diterapkan saat ini dan sudah digunakan pada tingkat yang moderat atau kuat di bisnis kelas menengah Indonesia.
Penerapan AI di antaranya untuk mengembangkan konten pemasaran dan penjualan (92 persen), berinteraksi dengan pelanggan atau vendor (91 persen), mendeteksi penipuan (89 persen), dan memantau ancaman keamanan siber (87 persen).
“AI bukanlah hal yang baru. Faktanya, kami telah menggunakannya selama beberapa dekade,” kata Maheshwari.
Menurutnya, lebih dari 27.000 pelanggan telah menggunakan SAP Business AI saat ini, termasuk di Indonesia.
"Kami telah menghadirkan lebih dari 70 contoh kasus penggunaan Generative AI di tahun lalu, dan kami berharap lebih dari 100 contoh kasus akan tersedia pada akhir tahun 2024. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengeksplorasi manfaat dari Business AI," katanya.
Namun, masih ada beberapa tantangan untuk mendorong pertumbuhan bisnis skala menengah di Indonesia.
Para responden menyatakan kurangnya kualitas data untuk perencanaan atau pengambilan keputusan (41 persen) dan gangguan rantai pasokan (40 persen) sebagai tantangan internal utama terhadap pertumbuhan, di samping masalah kurangnya integrasi antar sistem (38 persen) dan teknologi yang sudah ketinggalan zaman (32 persen).
Data juga disebut sebagai risiko organisasi dalam hal AI. Perusahaan-perusahaan skala menengah di Indonesia mengatakan bahwa risiko terbesar yang dihadapi perusahaan mereka akibat AI adalah mengambil keputusan berdasarkan informasi yang salah (37 persen), kurangnya transparansi hasil (33 persen), kurangnya jumlah dan kualitas data (32 persen), serta tuntutan hukum (31 persen).
“Semakin baik kualitas dan skala data Anda, semakin baik pula hasil AI Anda,” kata Maheshwari.