Jakarta, FORTUNE- Pavel Durov, pendiri dan pemilik aplikasi perpesanan Telegram ditangkap di bandara Le Bourget di luar Paris tak lama setelah mendarat dengan jet pribadi pada Sabtu malam (23/8) dan ditahan.
Dilansir dari Reuters, penangkapan miliarder teknologi Rusia berusia 39 tahun itu memicu peringatan dari Moskow kepada pemerintah Paris, bahwa ia harus diberikan hak-haknya dan kritik dari pemilik X Elon Musk yang mengatakan bahwa kebebasan berbicara di Eropa sedang diserang.
Hingga kini, belum ada konfirmasi resmi dari Prancis mengenai penangkapan tersebut. Namun, dua sumber kepolisian Prancis dan satu sumber anonim Rusia mengatakan, Durov ditangkap tak lama setelah tiba di bandara Le Bourget dengan jet pribadi dari Azerbaijan.
Salah satu dari dua sumber kepolisian Prancis mengatakan bahwa sebelum kedatangan jet tersebut, polisi telah melihat Durov ada dalam daftar penumpang dan bergerak untuk menangkapnya karena ia menjadi subjek surat perintah penangkapan di Prancis.
"Telegram mematuhi hukum Uni Eropa, termasuk Undang-Undang Layanan Digital — moderasinya berada dalam standar industri dan terus ditingkatkan," kata Telegram dalam pernyataannya menanggapi penanggapan Durov.
"CEO Telegram Pavel Durov tidak menyembunyikan apa pun dan sering bepergian ke Eropa," katanya. "Tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa sebuah platform atau pemiliknya bertanggung jawab atas penyalahgunaan platform tersebut."
Dugaan penangkapan
Durov, yang memiliki kewarganegaraan ganda Prancis dan Uni Emirat Arab, ditangkap atas penyelidikan awal polisi terkait dugaan mengizinkan berbagai kejahatan kurangnya moderasi di Telegram dan kerja sama dengan polisi, menurut sumber ketiga pihak kepolisian Prancis.
Sumber tersebut juga mengatakan, unit gendarmerie keamanan siber dan unit polisi antipenipuan nasional Prancis memimpin penyelidikan.
"Kami sedang menunggu penyelesaian segera dari situasi ini. Telegram bersama Anda semua," kata Telegram.
Kementerian Dalam Negeri Prancis, kepolisian, dan kantor kejaksaan Paris enggan berkomentar.
Anggota parlemen Rusia Maria Butina, yang menghabiskan 15 bulan di penjara AS karena bertindak sebagai agen Rusia yang tidak terdaftar, mengatakan Durov "adalah tahanan politik - korban perburuan oleh Barat." Penangkapan Durov menjadi berita utama di Rusia.
Telegram didirikan oleh Durov kantor pusat di Dubai, setelah meninggalkan Rusia pada 2014 setelah menolak memenuhi tuntutan untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VK miliknya, yang telah ia jual.
Aplikasi terenkripsi, dengan hampir 1 miliar pengguna, sangat berpengaruh di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet. Aplikasi ini diperingkat sebagai salah satu platform media sosial utama setelah Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan WeChat.
Pengaruh Telegram
Durov, yang disebut memiliki kekayaan sebesar US$15,5 miliar, pada April lalu mengatakan bahwa beberapa pemerintah tengah berusaha menekannya. Namun, ia menegaskan, aplikasi tersebut harus tetap menjadi platform yang netral dan bukan "pemain dalam geopolitik".
Durov mencetuskan ide untuk aplikasi pengiriman pesan terenkripsi saat menghadapi tekanan di Rusia. Adik laki-lakinya, Nikolai, merancang enkripsi tersebut.
"Saya lebih suka bebas daripada menerima perintah dari siapa pun," kata Durov pada bulan April tentang kepergiannya dari Rusia dan pencarian kantor pusat untuk perusahaannya, yang mencakup tugas di Berlin, London, Singapura, dan San Francisco.
Setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada 2022, Telegram menjadi sumber utama konten yang tidak difilter - dan terkadang vulgar dan menyesatkan - dari kedua belah pihak mengenai perang dan politik seputar konflik tersebut.
Telegram oleh beberapa analis disebut sebagai "medan perang virtual" dan banyak digunakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dan para pejabatnya, serta pemerintah Rusia.
Kementerian luar negeri Rusia mengatakan telah mengirim nota ke Paris menuntut akses ke Durov, meskipun disebutkan bahwa ia memiliki kewarganegaraan Prancis.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa Durov telah salah menilai dengan melarikan diri dari Rusia dan berpikir bahwa ia tidak akan pernah bekerja sama dengan badan keamanan di luar negeri.
Medvedev, yang rutin menggunakan Telegram untuk mengkritik Barat, mengatakan Durov ingin menjadi "orang dunia yang cemerlang yang hidup dengan indah tanpa Tanah Air."
"Ia salah perhitungan," kata Medvedev. "Bagi semua musuh bersama kita sekarang, ia adalah orang Rusia – dan karenanya tidak dapat diprediksi dan berbahaya."
Rusia mulai memblokir Telegram pada 2018 setelah aplikasi tersebut menolak mematuhi perintah pengadilan untuk memberikan akses kepada badan keamanan negara ke pesan terenkripsi milik penggunanya.
Tindakan tersebut mengganggu banyak layanan pihak ketiga, tetapi tidak banyak berpengaruh pada ketersediaan Telegram di sana. Meski begitu, perintah pelarangan tersebut memicu protes massal di Moskow dan kritik dari LSM.