Jakarta, FORTUNE - TikTok buka suara perihal sejumlah tudingan yang tersebar di media sosial. Tudingan tersebut berkaitan dengan pengumpulan data yang diambil TikTok untuk kepentingan perusahaan, kemanan data, hingga intervensi pemerintah Cina.
Mengutip situs newsroom.tiktok.com, TikTok memaparkan sejumlah menjawab tfakta dan penjelasannya untuk meluruskan isu yang kerap dutujukan bagi platform media sosial asal Tiongkok ini.
Pertama mengenai isu perusahaan induk TikTok, ByteDance yang merupakan perusahaan Cina. Perusahaan menjelaskan, ByteDance, memang didirikan oleh pengusaha asal Cina, namun saat ini, sekitar 60 persen dari perusahaan ini dimiliki oleh investor institusional global seperti Carlyle Group, General Atlantic, dan Susquehanna International Group.
Sedangkan 20 persen lainnya dimiliki oleh karyawan ByteDance di seluruh dunia, termasuk ribuan karyawan di Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Jepang. Dua puluh persen sisanya dimiliki oleh pendiri perusahaan, yang merupakan individu pribadi dan bukan bagian dari entitas negara atau pemerintah.
Jajaran direksi dan kantor pusat tidak di Cina
TikTok juga mengkonfirmasi, sejumlah jajaran direksinya tidak terkait dengan pemerintahan Cina. Mulai dari Chairman dan CEO ByteDance, Rubo Liang berdomisili di Singapura. Lalu, Neil Shen berbasis di Hong Kong.
Sedangkan, Arthur Dantchik dari Susquehanna International Group, Bill Ford dari General Atlantic, dan Philippe Laffont dari Coatue Management juga berdomisili di Amerika Serikat.
"Empat dari lima direktur ini mewakili investor ByteDance di direksi, dan Rubo Liang, CEO ByteDance, mewakili perusahaan dan karyawannya," tulis TikTok dalam keterangan resminya.
Tak hanya dari kalangan petinggi perusahaan, TikTok juga menyebut tidak berkantor pusat di Cina. Perusahaan lebih memilih Los Angeles dan Singapura sebagai lokasi kantor pusat untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya.
Hal ini sesuai dengan pendekatan ByteDance untuk menyelaraskan kebutuhan bisnis dengan pasar tempat layanannya beroperasi. Selain itu, ByteDance juga tidak memiliki kantor pusat global tunggal.
Lokasi penyimpanan data TikTok
TikTok membantah bahwa pihaknya diatur oleh undang-undang Intelijen Nasional tahun 2017, di mana pemerintah Cina dapat memaksa ByteDance untuk memberikan data pengguna TikTok Indonesia.
Menjawab tudingan ini, TikTok menyebut seluruh data pengguna disimpan di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat dan tunduk pada hukum setempat.
TikTok tidak menyimpan data pengguna di Cina, tidak membagikan data pengguna Indonesia kepada pemerintah Cina, dan tidak akan memberikannya meskipun diminta. Kemudian pihaknya juga membantah bahwa TikTok mengambil sebanyak-banyaknya data pengguna untuk kepentingan pribadi.
Konten dan intervensi pemerintah Cina
Sebagai aplikasi hiburan, TikTok tidak mengizinkan pemerintah mana pun untuk memengaruhi atau mengubah model rekomendasi konten di dalamnya. Pihaknya juga menolak diintervensi mengenai isu atau peristiwa politik tertentu, termasuk yang bersifat kritis terhadap pemerintah Cina dan posisi resminya.
"TikTok tidak menghapus konten atas nama pemerintah mana pun kecuali dalam rangka mematuhi proses hukum untuk konten yang melanggar hukum setempat," ujar manajemen TikTok.
Sedangkan, terkait pengumpulan data, TikTok menjelaskan pihak tak berbeda dengan platform lain yang hanya mengumpulkan informasi yang dipilih pengguna dan bersedia diberikan. Hal ini pun untuk membantu aplikasi agar dapat berfungsi, beroperasi dengan aman, dan meningkatkan pengalaman pengguna.
“Kami menerapkan rangkaian kontrol yang kuat, perlindungan seperti enkripsi, dan protokol persetujuan otorisasi untuk membantu memastikan bahwa data hanya diakses oleh pihak yang memerlukannya agar bisnis dan layanan kami dapat berfungsi,” tulisnya.
Apabila ada karyawan TikTok yang mengharuskan mengakses data pengguna secara khusus, perusahaan menyatakan hanya memberi akses tercatat yang sangat terbatas atas informasi yang diberikan oleh pengguna, dengan penggunaan yang sangat ketat dan patuh pada protokol persetujuan tertinggi.