Jakarta, FORTUNE – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mengatakan perekonomian Indonesia sebaiknya berbasis pengetahuan (knowledge-based-economy) dan teknologi, bukan hanya bertumpu pada sumber daya alam. Karenanya, manusia menjadi penting sebagai pusat pertumbuhan dan inovasi.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan sekitar 17,5 juta tenaga kerja dan profesional serta pengusaha muda yang tidak gagap teknologi dan beradaptasi dengannya. Dan dalam kaitan ini, infrastruktur digital menjadi sangat penting. “Ini adalah backbone dari kekuatannya. Apa yang namanya healthtech, fintech, edutech, mediatech, semua ke arah tersebut,” ujarnya seperti dikutip Antara, Minggu (9/1).
Jumlah pekerja yang dibutuhkan masih sedikit
Riset Amazon Web Services (AWS) memperkirakan Indonesia butuh banyak pekerja digital demi mendukung perekonomian yang selaras dengan perubahan teknologi. Bahkan, jumlah yang dibutuhkan mencapai sekitar 110 juta orang.
Penelitian tersebut digelar pada Februari 2021 di enam negara pasifik, yakni Australia, Indonesia, Jepang, India, Korea Selatan, dan Singapura. Khusus di Indonesia, survei ini melibatkan lebih dari 500 pekerja digital, pemimpin bisnis, pakar teknologi, dan pemimpin kebijakan.
Riset sama menunjukkan Indonesia baru memiliki 19 persen pekerja digital dari seluruh tenaga kerjanya. Tingkat pekerja digital Indonesia itu kalah dari Jepang (58 persen), Korea Selatan (62 persen), Singapura (63 persen), dan Australia (64 persen). Indonesia hanya unggul dari India yang persentasenya 12 persen.
Menurut AWS, Indonesia perlu mengembangkan kerangka kerja keterampilan di sektor digital. Salah satu caranya, pemerintah bisa memberikan insentif keuangan bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan kecakapan digital karyawannya.
Ekonomi digital belum inklusif
Namun, usaha meraih pertumbuhan digital berkelanjutan juga tak mudah tersebab sejumlah perkara. Menurut riset dari The SMERU Research Institute (2020), perekonomian digital Indonesia belum inklusif lantaran sejumlah persoalan.
Ambil misal faktor akses internet dan infrastruktur pendukungnya yang belum merata di pedesaan, khususnya daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Bahkan, kalaupun infrastruktur internet tersedia, tidak serta merta akses dan pemanfaatan sama, terutama bagi perempuan, masyarakat miskin, lanjut usia, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, dan penyandang disabilitas menjadi terjamin.
Itu belum termasuk soal transformasi digital dalam ekspansi bisnis yang belum sepenuhnya tercapai. Pada gilirannya, kesadaran akan pentingnya perlindungan sosial antara pelaku bisnis dan pekerja yang terlibat dalam ekosistem digital masih rendah.
Padahal, Indonesia pada 2025 diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, dan perekonomian digital telah menyumbang 2,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2019.
Bank Dunia menyebut pekerjaan gig digital memang tengah bermunculan. Hal itu bisa menjadi batu loncatan bagi orang muda Indonesia. Pekerjaan sama pun berupah lebih besar dibandingkan pekerjaan informal konvensional.
Namun, menurut lembaga tersebut, peluang itu umumnya hanya terbatas bagi pekerja laki-laki di wilayah perkotaan. Pekerja gig digital rata-rata juga bekerja 10 jam lebih banyak dibandingkan tipe pekerja lain di Indonesia.
“Salah satu alasan mengapa manfaat digital belum dapat digunakan oleh pekerja dalam spektrum yang lebih luas adalah tingkat adopsi digital oleh perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah, masih rendah dan terbatas. Hal ini baru berubah saat pandemi terjadi dan dapat didukung dengan kebijakan yang melengkapi perkembangan tersebut,” demikian pernyataan Bank Dunia dalam riset Melampaui Unikorn: Memanfaatkan Teknologi Digital Untuk Inklusi Indonesia, Juli 2021.