Jakarta, FORTUNE – YouTube dipandang sebagai platform media yang penuh dengan konten misinformasi dan disinformasi. Demikian pernyataan dari 80 lembaga pemeriksa fakta (fact chekcers) dunia kepada Susan Wojcicki, CEO situs web video kesohor itu. Mereka mendesak Susan untuk segera memperbaiki kebijakan pengelolaan konten YouTube.
Menurut para pemeriksa fakta tersebut, dunia telah berulang kali menyaksikan betapa disinformasi dan misinformasi dapat merusak keharmonisan sosial, demokrasi, dan kesehatan masyarakat, bahkan selama pandemi COVID-19 berlangsung.
“Apa yang tidak kami lihat adalah upaya YouTube untuk menerapkan kebijakan untuk mengatasi masalah itu. Sebaliknya, YouTube membiarkan platformnya dipersenjatai oleh para aktor tidak bermoral untuk memanipulasi dan mengeksploitasi orang lain, dan untuk mengatur dan menggalang dana sendiri,” demikian bunyi surat terbuka tersebut seperti dikutip dari laman Poynter.org, Rabu (12/1).
Pelbagai bukti hoaks
Mereka menyatakan bukti misinformasi maupun disinformasi di YouTube terlalu banyak untuk dihitung. Namun, beberapa yang mengundang perhatian adalah informasi mengenai ajakan pemboikotan terhadap usaha vaksinasi COVID-19, perawatan COVID-19 dengan obat palsu, dan omong kosong pengobatan kanker.
Platform yang didirikan oleh tiga mantan karyawan PayPal itu juga dimanfaatkan sebagai medium untuk mengamplifikasi ujaran kebencian terhadap kelompok rentan, seperti yang terjadi di Brasil. Lalu, di Filipina, terdapat konten palsu dengan lebih dari 2 juta penayangan yang menyangkal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan korupsi selama bertahun-tahun. Belum lagi kisruh di US Capitol Amerika Serikat (AS) akibat beredarnya narasi seputar “penipuan pemilu”.
Usul pengelolaan konten tercela
Para pemeriksa fakta itu pun mengusulkan sejumlah solusi bagi YouTube untuk mengurangi penyebaran disinformasi dan misinformasi. Youtube, misalnya, harus transparan mengenai disinformasi di platformnnya dengan mendukung penelitian independen tentang asal-usul berbagai konten tercela tersebut serta dampaknya.
YouTube juga diminta menerbitkan kebijakan moderasi penuh mengenai disinformasi dan misinformasi, termasuk penggunaan kecerdasan buatan dan data mana yang mendukungnya.
Selain menghapus konten untuk kepatuhan hukum, seharusnya YouTube juga berfokus untuk menyediakan konteks dan menawarkan sanggahan, yang ditambahkan dengan jelas pada setiap video atau sebagai konten video tambahan.
Respons YouTube
Menanggapi surat terbuka tersebut, juru bicara Youtube, Elena Hernandez, seperti dikutip dari The Guardian (12/1), mengatakan perusahaan telah banyak berinvestasi dalam kebijakan. Contohnya adalah pengurangan penyebaran konten misinformasi yang mendekati batas pelanggaran.
Youtube, menurutnya, telah mengalami kemajuan penting. Konsumsi misinformasi dijaga pada batas yang direkomendasikan, yaitu di bawah 1 persen dari semua penayangan. Hanya sekitar 0,21 persen dari semua konten yang termasuk konten melanggar telah dihapus.
Dalam pedoman komunitasnya, YouTube juga melarang konten akal-akalan yang berisiko membawa mudarat. Di antaranya adalah jenis misinformasi yang dapat menimbulkan bahaya nyata seperti mempropagandakan pengobatan atau terapi yang membahayakan. Selain itu, konten yang condong mencampuri proses demokratis juga diharamkan tayang.