Jakarta, FORTUNE – Aset kripto masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. Hal ini membuat sejumlah pihak mempertanyakan pengawasan dan regulasi mengenai aset kripto yang telah ada.
Government Relation Manager Tokocrypto, Albert Endi Hertanto, menyatakan kabar kripto yang masuk RUU PPSK ini membuat para pelaku industri bimbang.
Meski demikian, Tokocrypto dalam operasionalnya tetap berpegang pada Peraturan Bappebti yang mengacu Surat Menko Perekonomian Nomor S-302/M.EKON/09/2018 perihal Tindak lanjut Pelaksanaan Rakor Pengaturan Aset Kripto Sebagai Komoditi yang Diperdagangkan di Bursa Berjangka.
Menurutnya, aset kripto di Indonesia tetap dilarang sebagai alat pembayaran. Namun, kripto diperbolehkan sebagai alat investasi yang dimasukkan sebagai komoditas. Peraturan pemerintah pun mengatur dan memasukkan aset kripto sebagai komoditas yang diperdagangkan di bursa berjangka.
“Dengan pertimbangan karena secara ekonomi potensi investasi yang besar serta apabila dilarang akan berdampak pada banyaknya investasi yang keluar (capital outflow) karena konsumen akan mencari pasar yang melegalkan transaksi kripto,” kata Endi dalam keterangan yang dikutip Senin (17/10).
Kejelasan regulasi
Tokocrypto masih mendalami inti dan pasal dalam RUU PPSK mengingat regulasi tersebut masih dalam pembahasan antarlembaga, kata Edi.
“Kami sebagai pelaku industri hanya butuh kepastian regulasi yang bisa melindungi dan mendorong pengembangan ekosistem aset kripto di Indonesia untuk tumbuh sehat,” kata Endi.
Menurutnya, pelaku usaha pada dasarnya senantiasa mendukung upaya pemerintah sebagai regulator dalam memperkuat ekosistem industri aset kripto. Hal tersebut, kata dia, merupakan bentuk dukungan terhadap perkembangan industri aset kripto dalam beberapa tahun belakangan.
“Kami juga terus berkomunikasi dengan seluruh stakeholder untuk diskusi menerbitkan regulasi yang tepat dan mengedepankan asas keadilan. Hal ini akan berdampak positif bagi industri kripto yang sedang tumbuh,” jelasnya.
Posisi aset kripto
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, berpendapat konsekuensi masuknya aset kripto dalam RUU PPSK artinya pengawasan dan regulasi aset kripto berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Padahal, selama ini aset kripto diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
“Kalau pengawasan diatur oleh OJK padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai mata uang melainkan komoditi, maka akan terdapat dualisme pengawasan. Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya, apakah sebagai mata uang atau komoditi?” kata Bhima dalam rilis pers, Senin (10/10).
Menurut Pasal 205, pihak yang menyelenggarakan inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) wajib menyampaikan data dan informasi ke BI dan OJK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Dalam Pasal 205 ayat 1 disebutkan Bank Indonesia dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya.
“Dijadikannya BI dan OJK sebagai pihak yang menjadi otoritas atas aktivitas aset kripto juga menjadi pertanyaan mengingat selama ini mereka tidak memiliki tugas, fungsi, ataupun infrastruktur untuk mengatur perdagangan komoditi yang selama ini berada dalam ranah otoritas Bappebti,” ujarnya.
Jumlah investor aset kripto per Agustus 2022 mencapai 16,1 juta orang. Sedangkan, nilai transaksi aset kripto pada delapan bulan pertama tahun ini mencapai Rp249,3 triliun.
“Dengan melihat pasar yang cukup besar, dan memerlukan infrastruktur yang mumpuni, sudah selayaknya Bappebti ikut dilibatkan aktif dalam pembahasan RUU PPSK terkait posisi aset kripto. Bappebti pun saat ini sedang melakukan pembenahan infrastruktur pasar aset kripto, sehingga diperlukan koordinasi dan harmonisasi regulasi dengan OJK maupun BI,” katanya.