Jakarta, FORTUNE – Trader maupun investor yang berniat untuk membeli aset kripto yang baru dirilis bisa mengikuti kegiatan Initial Coin Offering (ICO). Namun, investor perlu memperhatikan dengan baik aktivitas ICO ini karena menyimpan sejumlah risiko.
ICO merujuk kepada metode untuk mengumpulkan dana melalui penawaran suatu jenis aset kripto baru berbasis teknologi blockchain kepada publik.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, ICO ini merupakan cara bagi pengembang aset kripto untuk meraih suntikan modal dari investor, sebagaimana dikutip dari laman Zipmex.
Konsep ICO ini dapat dianggap sama dengan penawaran umum saham perdana (IPO) di pasar modal. Namun, perbedaannya adalah ICO ini tidak seketat IPO yang diatur oleh regulator. Dalam praktiknya, ICO ini tidak diatur maupun dilindungi oleh institusi apa pun.
Dalam ICO ini biasanya ada tiga jenis aset digital yang ditawarkan, yakni payment token, utility token, dan aset token.
Cara kerja ICO
Pengembang aset kripto yang ingin menghimpun dana lewat ICO tentu akan terlebih dahulu membuat proposal ataupun whitepaper. Nantinya, whitepaper itu akan berisi mengenai ide, strategi, sampai target dana untuk melaksanakan proyek aset digital. Whitepaper sama akan memerinci pula soal jumlah token beredar, jenis uang yang digunakan, penawaran harga token, serta durasi promosi ICO.
Selanjutnya, trader maupun investor dapat membeli aset kripto yang ditawarkan dengan mata uang fiat maupun aset digital.
Dalam implementasinya, ICO bisa saja gagal karena tidak memenuhi target dana. Jika itu yang terjadi, dana tersebut dikembalikan kepada trader maupun investor. Sebaliknya, jika dana berhasil terpenuhi dalam jangka waktu ICO yang ditentukan, dana tadi bakal dimanfaatkan untuk melaksanakan proyek.
Menurut situs web Pluang, pengembang akan menggunakan dana ICO untuk memenuhi tujuannnya yaitu meluncurkan produk atau memulai mata uang digital. Di sisi lain, investor akan mendapat untung bila nilai aset kripto baru itu mengalami kenaikan.
Setelah masa ICO selesai, koin baru akan dirilis ke umum. Masyarakat umum dapat membeli koin baru tersebut untuk bertransaksi atau berinvestasi. Bila harga setelah rilis naik terus, maka investor ICO akan mendapat untung banyak.
Namun, perlu dicatat risiko rugi dalam ICO sangat tinggi. Bisa jadi setelah masa ICO selesai, perusahaan langsung bangkrut atau aset kriptonya tidak laku. Peserta ICO pun biasanya adalah orang yang telah memahami risiko tersebut.
Saran menghindari risiko ICO
Sebagaimana disebut barusan, ICO ini memiliki risiko tinggi baik bagi trader maupun investor. Maka, berikut sejumlah saran untuk menghindari risiko kerugian dalam penawaran aset kripto baru, sebagaimana dilansir dari laman Bitocto.
1. Cari pelbagai informasi tentang ICO
Investor perlu menggali semua informasi mengenai aset kripto secara luas, termasuk informasi yang khusus berkenaan dengan ICO suatu aset kripto baru.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan mulai membaca pelbagai proyek aset kripto terbaru di beberapa situs web, salah satunya laman Initial Coin Offering Watchlist. Di sana, investor bisa melakukan perbandingan penawaran hingga menemukan ICO baru.
2. Hati-hati
Investor juga mesti berhati-hati dalam mengikuti ICO agar terhindar dari kerugian. Beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian, seperti proyek memiliki tujuan yang jelas, serta siapa saja pengembang yang terlibat di dalamnya. Investor juga bisa memastikan syarat dan ketentuan hukum demi mengetahui bahwa aset kripto yang dibeli melalui ICO adalah legal.
Tak hanya itu, investor bisa memastikan bahwa dana ICO telah disimpan dalam dompet escrow yang membutuhkan banyak kunci untuk mengaksesnya, demikian laman Pluang.
3. Tidak ada regulator dalam ICO
Perlu dicatat bahwa tidak ada regulator yang mengatur tentang ICO. Hal tersebut berisiko terhadap penipuan. Dalam hal ini, investor perlu mewaspadai jika ada indikasi kecurangan dalam ICO.
Praktik penggalangan dana melalui ICO ini tak diawasi oleh pihak otoritas keuangan. Karena itu, wajar saja jika ICO dilarang di sejumlah negara.