Jakarta, FORTUNE – Apple tengah mengalami fase perlambatan bisnis karena sejumlah hal, mulai dari gangguan produksi hingga penurunan permintaan. Namun, perusahaan pembuat ponsel iPhone itu diprediksi tetap memiliki prospek bagus dalam jangka panjang.
Fortune.com melansir, Kamis (5/1), Apple sempat berhasil menghindari sebagian besar dampak dari kenaikan suku bunga dan inflasi yang tinggi—dua masalah yang menyebabkan gejolak pada industri teknologi sepanjang tahun lalu.
Dalam sebulan terakhir saham Apple melorot hampir 15 persen. Situasi itu ditengarai terjadi karena penundaan produksi. Pada saat bersamaan, muncul kekhawatiran akan permintaan yang melemah karena situasi ekonomi global yang turun.
Pada pekan ini, investor mendapatkan lebih banyak bukti ihwal kinerja bisnis Apple yang terdampak perlambatan permintaan. Perusahaan teknologi tersebut dikabarkan telah memberi tahu pemasoknya untuk membuat sedikit komponen bagi produk utamanya seperti Macbook, iPad, dan Airpods.
Analis teknologi dari Wedbush, Dan Ives, berpendapat perlambatan produksi Apple itu menyiratkan latar belakang permintaan konsumen yang melandai.
Sementara, analis teknologi dari CFRA Research, Angelo Zino, menyatakan tidak "terkejut" dengan kabar perlambatan pemesanan komponen itu. Pasalnya, Apple saat ini menghadapi lingkungan yang "lebih menantang".
Prospek saham
Terlepas dari masalah permintaan dan potensi resesi, para analis tetap optimistis terhadap prospek jangka panjang Apple. Alasannya, perusahaan memiliki arus kas yang stabil, tim manajemen yang jarang membuat kesalahan, dan menawarkan potensi pertumbuhan di sektor strategis seperti augmented reality.
Dan Ives meyakini saham Apple adalah investasi jangka panjang yang unggul. Kini, saham perusahaan itu dipatok US$175 per saham, atau turun dari US$200 per saham dalam proyeksi sebelumnya. Saat artikel ini ditulis, saham Apple dihargai US$125 per lembar, menurut data dari Google Finance
Apple kemungkinan harus memangkas pesanan iPhone selama beberapa kuartal berikutnya. Namun, dia meyakini penurunan permintaan itu takkan berlangsung lama. “Apple tetap menjadi nama teknologi favorit kami, dan kami mempertahankan peringkat terbaik kami,” katanya, seperti dilansir Fortune.com.
Masalah penurunan permintaan itu sebenarnya merupakan perkembangan yang relatif baru. Apple sebelumnya dibelit masalah karantina wilayah di Cina karena Foxconn, yang merupakan pemasok Apple, terdampak dengan pembatasan kegiatan tersebut. Akibatnya, Apple tidak dapat memproduksi jutaan iPhone yang dicari konsumen.
Dan Ives mengatakan Apple tidak dapat memenuhi permintaan 8 juta–10 juta iPhone pada kuartal terakhir 2022 karena pembatasan tersebut dan masalah rantai pasokan lainnya. Namun, dia menaksir penjualan iPhone itu kemungkinan akan bergeser ke tahun ini.
Menurut Angelo Zino, Apple sebelumnya beberapa kali memangkas pembelian perangkat keras setelah liburan. Dengan begitu, penurunan pemesanan terbaru mungkin lebih bersifat musiman.
Kini sebagian besar kendala pasokan telah diatasi, katanya, tapi saham Apple mungkin masih akan turun lebih jauh dalam waktu dekat. Soalnya pendapatan Apple kemungkinan perlu direvisi lebih rendah pada kuartal pertama tahun ini karena pelemahan ekonomi.
Zino menyatakan Apple menghasilkan lebih dari US$100 miliar arus kas tahunan bebas—atau kas yang tersedia untuk membayar kreditor, dividen, dan bunga. “Investor harus memanfaatkan kesempatan ini,” ujarnya.