Jakarta, FORTUNE –TikTok dituding menerapkan syarat dan ketentuan platform yang mendiskriminasi pengguna anak di bawah umur di belasan negara, termasuk Indonesia. Tuduhan tersebut datang dari Fairplay, organisasi nirlaba yang fokusnya adalah isu pengalaman daring anak-anak.
Dikutip dari Fortune.com, Kamis (14/7), aplikasi video pendek itu dilaporkan tidak memberikan level perlindungan yang setara bagi pengguna anak-anak di seluruh dunia. Media sosial besutan dari Bytedance ini memberlakukan tingkat privasi dan keamanan yang timpang bergantung pada wilayah operasi platform.
Laporan bertajuk Global Platforms, Partial Protections: Design Discriminations On Social Media Platforms, menggarisbawahi pengguna anak di Eropa beroleh perlindungan keamanan dan privasi yang lebih baik ketimbang wilayah lain.
Sebagai misal, pengguna TikTok Eropa berusia 13-17 diberikan “pengalaman sesuai usia”, dengan sejumlah fitur, seperti pesan langsung, tidak tersedia. Namun, fitur tersebut tidak berlaku di kawasan dunia lainnya.
Anak-anak berusia 17 yang membuka akun TikTok di Inggris dan negara-negara Eropa tertentu diarahkan untuk merahasiakan akunnya. Sedangkan, remaja dengan usia sama di luar Eropa diberikan pengaturan default ke akun publik.
“Dokumen dan layanan ini sangat penting untuk kemampuan anak-anak menyetujui praktik data suatu platform dan untuk dapat menggunakannya dengan aman dan efektif, termasuk kemampuan untuk mengaktifkan fitur privasi atau keamanan tambahan,” begitu bunyi laporan Fairplay.
Penelitian Fairplay menemukan pula persyaratan usia minimum yang saling bertentangan dalam kebijakan TikTok di beberapa negara, dengan versi dokumen Indonesia yang mengatur variasi usia pada 13, 14, atau 21, tergantung pada bagian mana yang sedang dibaca.
Desakan
Pada saat bersamaan dengan laporan itu dipublikasikan, puluhan organisasi yang terdiri dari kelompok advokasi hak-hak digital dan keselamatan anak menyerukan kepada TikTok untuk menerapkan pendekatan “keselamatan berdasarkan desain” dan “hak-anak-anak dengan desain” secara global.
Kelompok tersebut mendesak Shou Zi, CEO TikTok, untuk mengatasi diskriminasi syarat dan aturan platform.
“Banyak pengguna muda TikTok bukan orang Eropa. Pasar terbesar TikTok ada di Amerika Serikat, Indonesia, dan Brasil. Semua anak dan remaja berhak mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan usianya, bukan hanya mereka yang berasal dari Eropa,” demikian petikan laporan tersebut.
Pun demikian, TikTok disebut memiliki lebih dari satu miliar pengguna aktif. Sejumlah perkiraan menunjukkan antara sepertiga dan seperempatnya adalah pengguna anak-anak di bawah umur.
“Keputusan keamanan dan privasi yang dibuat oleh perusahaan Anda memiliki kapasitas untuk memengaruhi 250 juta anak muda secara global, dan keputusan ini perlu memastikan bahwa kepentingan terbaik anak-anak dan kaum muda diwujudkan, dan diwujudkan secara setara,” begitu bunyi laporan.
Penelitian Fairplay ini disusun dengan melibatkan peneliti di London dan Syndey. Lembaga itu melakukan analisis kebijakan privasi term and conditions platform, dengan melibatkan dukungan dari sejumlah organisasi penelitian di banyak wilayah. Tim meneliti soal pengaturan default yang ditawarkan untuk pengguna berusia 17 di pasar yang berbeda.