Jakarta, FORTUNE – Alibaba Group Holding Limited menyampaikan optimismenya mengenai upaya buyback saham. Raksasa e-commerce asal Cina itu meningkatkan dana aksi korporasinya menjadi US$25 miliar atau lebih dari Rp357 triliun dari sebelumnya US$15 miliar.
Dalam rilis kepada media, Alibaba mengatakan bahwa pembelian kembali saham ini telah mendapatkan persetujuan dari dewan perusahaan. Nantinya, aksi korporasi ini akan berlaku selama dua tahun sampai Maret 2024.
Pada Jumat (18/3), perusahaan telah membeli total US$9,2 miliar atau lebih dari Rp131 triliun saham yang terdaftar di Amerika Serikat (AS) dalam program buyback sebelumnya.
“Pembelian kembali saham ini dengan keyakinan akan kelanjutan pertumbuhan perusahaan di masa depan,” demikian pernyataan resmi Alibaba, Rabu (23/3).
Buyback saham Alibababa dengan nominal lebih besar ini merupakan yang kedua kalinya dalam setahun terakhir, menurut Reuters. Pada Agustus 2021, mereka juga menyesuaikan anggaran untuk aksi tersebut menjadi US$15 miliar atau setara Rp214 triliun dari sebelumnya US$10 miliar.
"Harga saham Alibaba tidak cukup mencerminkan nilai perusahaan mengingat kesehatan keuangan dan rencana ekspansi kami yang kuat,” kata Deputy Chief Financial Officer Alibaba, Toby Xu. Alibaba memiliki US$75 miliar atau lebih dari Rp1.072 triliun dalam bentuk kas, setara kas, dan investasi jangka pendek.
Di bursa Hong Kong, harga saham Alibaba saat ini mencapai 115,20 dolar (HKD). Dalam enam bulan terakhir, sahamnya turun 22,4 persen. Bahkan, secara tahunan, terkoreksi 49,9 persen.
Rencana Alibaba ini datang di tengah tren kenaikan saham teknologi belakangan. Kondisi ini usai pemerintah Cina menyebut akan mengeluarkan lebih banyak langkah untuk meningkatkan ekonomi serta kebijakan yang positif untuk pasar modal.
Kinerja Alibaba
Keputusan Alibaba soal sahamnya ini tak mengherankan, menurut Rukim Kuang, pendiri Lens Company Research di Beijing. Apalagi jika mengingat bagaimana tindakan pemerintah Cina melawan perilaku monopoli dan ekspansi modal yang tidak teratur yang akan membatasi peluang perusahaan untuk investasi baru.
"Raksasa internet akan mulai kembali fokus pada bisnis utama mereka di masa depan. Akibatnya, perusahaan seperti Alibaba tidak perlu menyimpan uang tunai dalam jumlah besar di pembukuannya," ujarnya, dikutip dari Reuters.
Alibaba tengah berada dalam tekanan sejak akhir 2020 ketika Jack Ma, pendiri perseroan, secara terbuka mengritik sistem regulasi Cina.
Pemerintah Cina lantas menghentikan rencana besar penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) dari Ant Group, anak usaha Alibaba di bidang keuangan. Tak hanya itu, Beijing juga menjatuhkan sanksi denda US$2,8 miliar atau Rp40 triliun atas perkara perilaku anti-persaingan.
Pada saat bersamaan, Alibaba juga harus menghadapi kompetisi yang semakin ketat dengan para pesaing, perlambatan konsumsi, dan kondisi pasar e-commerce. Sejumlah masalah tersebut ditengarai memicu penurunan panjang dalam sahamnya.
Dalam rilis sebelumnya, Alibaba pada periode tiga bulan yang berakhir Desember 2021 melaporkan sanggup meraih pendapatan 242,58 juta yuan atau sekitar Rp546,53 triliun. Meski angka tersebut meningkat 9,7 persen ketimbang tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), pertumbuhan pendapatan sedemikian dianggap terendah sejak 2014.
Laba Alibaba pada periode sama juga terkoreksi 75,3 persen menjadi 19,22 juta yuan atau setara Rp43,31 triliun dari sebelumnya 77,97 juta yuan.