Marak Social Commerce, Perlindungan Data Perlu Diperhatikan

Konsumen social commerce dilindungi UU ITE.

Marak Social Commerce, Perlindungan Data Perlu Diperhatikan
Aplikasi media sosial di ponsel Android. Shutterstock/TY Lim.
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Platform media sosial (medsos) kini menjadi primadona masyarakat setelah menyediakan fitur-fitur yang dapat digunakan untuk bertransaksi atau berjualan di dalam platform mereka. Aktivitas berjualan di medsos tersebut, kerap disebut dengan social commerce.  

Dalam hal ini, brand atau pelaku usaha tidak menjadikan laman media sosial mereka sebagai etalase semata, melainkan konsumen dapat menyelesaikan seluruh proses pembelian tanpa meninggalkan aplikasi tersebut. Fenomena social commerce ini bisa dianggap sebagai pesaing baru bagi platform-platform e-commerce ternama seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, dan Tokopedia.  

Di sisi lain, sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS) telah mewaspadai model bisnis social commerce yang dinilai dapat menimbulkan berbagai risiko. Risiko ini termasuk dalam hal manajemen data.  

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, penggunaan media sosial untuk berjualan pada dasarnya bisa disebut sebagai marketplace. 

Oleh karena itu, semestinya penjual juga harus mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam PP Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.  

"Artinya TikTok sendiri sebagai penyedia platform dia harus patuh pada aturan-aturan tersebut, dan membebankan aturan-aturan tersebut kepada usernya yang menggunakan akun mereka untuk jual beli secara online," kata Wahyudi, ketika dihubungi media di Jakarta, Rabu (1/2). 
 

Media sosial harus terapkan aturan perlindungan data

Ilustrasi membuat konten di media sosial. Shutterstock/Zurijeta

Sebelum adanya model bisnis social commerce, media sosial telah memiliki akses data yang cukup luas terhadap para pengguna platformnya, termasuk kebiasaan, perilaku, dan berbagai data pribadi lainnya. 

Dengan adanya model bisnis social commerce, media sosial dinilai akan semakin memiliki kuasa dan akses atas data pengguna yang berasal tidak hanya dari layanan media sosial, tetapi juga terkait dengan transaksi pembelian mereka.  

Pengumpulan data pengguna yang eksesif ini memiliki potensi penyalahgunaan, misalnya praktik monopolistik, seperti, cross-sharing data, tying and bundling, tracking self-preferencing, ataupun ranking manipulation yang berujung kepada praktik persaingan usaha yang tidak sehat.  

"Secara internal, mereka (platfrom media sosial) mengelola itu dan mereka juga menerapkan aturan-aturan e-commerce, terkait dengan perlindungan data dalam konteks e-commerce di dalam marketplace mereka. Seharusnya TikTok juga melakukan hal yang sama begitu sehingga konsumen mendapatkan perlindungan," kata Wahyudi.

Konsumen social commerce dilindungi UU ITE

Ilustrasi pengguna media sosial anonim. Shutterstock/Sander van der Werf

Sejauh ini, Wahyudi kembali menambahkan, instrumen hukum yang bisa digunakan untuk melindungi konsumen media sosial adalah PP Nomor 80 tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Tak hanya itu, social commerce juga harus tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. 

"Selain itu juga dalam konteks perlindungan data, saat ini kan platform harus sepenuhnya menerapkan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDT). Jadi sejauh mana juga TikTok mengikuti kewajiban-kewajiban mereka sebagai pengendali data dengan mengacu pada UU PDT," kata Wahyudi.  

Senada, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan social commerce harus diatur oleh pemerintah. Terutama, terkait penggunaan data pribadi di semua sektor termasuk di media sosial dan sejenisnya.  

Menurutnya, Pemerintah Indonesia tidak boleh ketinggalan terhadap isu keamanan data pribadi dari sisi konsumen. Untuk itu, Pemerintah harus bisa berkaca dan belajar dari negara lain seperti Amerika Serikat. 

“Pemerintah tidak boleh delay dan terlambat mengatasi (keamanan data) itu, sebelum terjadi di Indonesia,” kata Tulus ketika ditemui Fortune Indonesia, Senin (30/1). 

Sebelumnya, Amerika Serikat juga dilaporkan telah melarang penggunaan platform TikTok pada gawai milik pemerintah federal atas alasan keamanan nasional. Pelarangan tersebut tidak terlepas dari dugaan bahwa TikTok telah melakukan pengambilan data yang eksesif dari penggunanya.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

IDN Channels

Most Popular

Mega Insurance dan MSIG Indonesia Kolaborasi Luncurkan M-Assist
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024
Booming Chip Dorong Pertumbuhan Ekonomi Singapura
Pimpinan G20 Sepakat Kerja Sama Pajaki Kelompok Super Kaya
Dorong Bisnis, Starbucks Jajaki Kemitraan Strategis di Cina