Jakarta, FORTUNE - Bisnis platform streaming video meningkat pesat selama pandemi Covid-19. Data Statista memperkirakan investasi tahunan untuk layanan streaming pada 2020 bisa mencapai US$61 miliar. Begitu pun untuk televisi berbayar yang mencapai US$173 miliar .
Banyaknya waktu yang dihabiskan orang untuk menonton film dan konten televisi, menyebabkan secara global, nilai pasar video streaming pada tahun lalu mencapai US$220 miliar—sebuah rekor baru di tengah tahun penuh transformasi.
Selain karena pandemi, pergeseran perilaku konsumsi media di kalangan masyarakat turut menyumbang kenaikan ini. Ditambah lagi dengan adanya merger media, pilihan pasar yang meluas, hingga diversifikasi produksi konten dan penayangannya.
Di Indonesia, salah satu raksasa media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk atau Emtek diketahui membeli saham di perusahaan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina (RANS Entertainment). Konten tayangan perusahaan tersebut cukup terkenal dan memiliki basis audiens luas di saluran digital. Perusahaan juga turut mengembangkan platform over the top (OTT), Vidio.
Ketika perilaku konsumen sudah berubah, apakah layanan itu akan tetap relevan ke depannya? Lantas, bagaimana prospek pasar video streaming selanjutnya?
Prospek Cerah
Layanan bisnis video streaming disebut masih memiliki ceruk pasarnya masih luas, prospek ke depan cerah. Menurut Research & Markets Global AVOD Forecasts 2021, pasar layanan tersebut masih bisa bertumbuh hingga US$66 miliar di 38 negara ddalam lima tahun ke depan.
Belum lagi, tidak sedikit pengguna internet yang menikmati konten dari platform siaran digital dan TV berbayar. Sebagai gambaran, menurut TGI Global Quick View dari Kantar, 65 persen dari ratusan juta konsumen digital di 25 negara mengklaim menggunakan layanan streaming pada 2020.
Mereka menonton konten berdurasi dua jam yang berbayar tiap harinya. Artinya, dalam sepekan mereka berpotensi menghabiskan waktu setidaknya 14 jam demi menikmati konten lewat platform digital.
Sistem Berlangganan Menjadi Tantangan
Kendati demikian, ada pula tantangan yang dihadapi, dimana sistem berlangganan yang meningkatkan saturasi di kalangan pengguna. Berdasar proyeksi Kantar, layanan tersebut akan sulit untuk bertahan sendirian di tengah pasar video streaming yang kian ramai. Sehingga, kolaborasi pun menjadi kunci.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, semakin banyak layanan digital yang bermitra dengan operator TV kabel besar demi mengamankan pelanggan. Seperti Sky yang merangkul Peacock serta Paramount dan Discovery+.
Contoh di Indonesia adalah kemitraan antara Disney+ Hotstar dengan Telkomsel pada awal peluncurannya—yang menawarkan harga berlangganan lebih kompetitif bagi calon pengguna. Begitu pula dengan IndiHome yang menyajikan layanan WeTV/Iflix untuk para pelanggannya.
Satu lagi, model berlangganan diprediksi akan kehilangan kekuatan dalam mendukung pendapatan perusahaan untuk jangka panjang. Sebab pemain semakin banyak. Karena itu, Kantar meramalkan akan lahirnya diversifikasi model bisnis lebih lanjut di kalangan platform streaming digital pada 2022.
Satu penanda dari pengembangan model bisnis itu: saat Disney memilih meluncurkan Black Widow dan Shang-Chi di bioskop lebih dulu, baru menerbitkannya di layanan premium Disney+ beberapa bulan setelahnya.
Konten Masih Menjadi Raja
Di tengah konsolidasi antar platform, konten pun masih menjadi raja bagi para penonton layanan streaming digital. Para pembuat dan pemilik konten dapat meningkatkan upah lisensi dan biaya angkut lebih tinggi dalam negosiasi dengan para platform.
Beberapa kategori yang berpotensi menarik minat audiens menurut Kantar, yakni: olahraga dan e-sport. Satu hal yang sudah digencarkan oleh Vidio, seperti menayangkan turnamen badminton dan sepak bola.