Jakarta, FORTUNE - Bagai mendapat durian runtuh, Telegram meraih keuntungan berkat ‘musibah’ yang melanda grup Facebook. Aplikasi berbagi pesan itu mengklaim kedatangan puluhan juta ‘pengungsi’ ketika seluruh platform Facebook mengalami gangguan.
Wajar saja, sebab saat aplikasi grup Facebook bermasalah, 3,5 miliar penggunanya kehilangan akses terhadap WhatsApp, Instagram, Messenger, serta Facebook. Kondisi tersebut mendorong mereka mencari alternatif.
Pendiri sekaligus bos Telegram, Pavel Durov, mengatakan lebih dari 70 juta pengguna baru beralih ke platformnya. “Dari segi ukuran, tingkat pertumbuhan harian Telegram melampaui level normalnya. Kami menyambut pengungsi dari platform lain itu (hanya) dalam satu hari,” ujar Durov di salurannya, dikutip Reuters, Rabu (6/10).
1. Performa Telegram Ketika Mengalami Ledakan Pengguna Baru
Bagaimana performa Telegram ketika puluhan juta pengguna berbondong-bondong mendatanginya? Apakah aplikasi jadi melambat atau terganggu?
Menurut Durov, sejumlah pengguna di Amerika tampaknya mengalami perlambatan aplikasi akibat pendaftaran oleh jutaan orang di saat yang bersamaan. Namun, dia menambahkan, bagi sebagian besar pengguna, layanan itu beroperasi secara normal.
2. Kedaulatan Internet Rusia Langkah yang Tepat
Selama bertahun-tahun, Rusia telah menegakkan kedaulatan di ruang digitalnya. Otoritas negeri tersebut menekan perusahaan teknologi asing agar menyimpan data di sana, memerintahkan mereka menghapus konten yang melanggar kebijakan. Jika tak mematuhi aturan, platform asing akan diblokir.
Juru Bicara Kemenlu Rusia, Maria Zakharova, mengatakan, “gangguan layanan Facebook selama hampir enam jam telah menjawab pertanyaan: apakah kita memerlukan media sosial dan platform internet yang dikembangkan sendiri?”
Selain Telegram, platform tayangan video Vkontakte juga mencatat kenaikan pemutaran video hingga 18 persen. Jumlah pesan yang dikirim di aplikasi perpesanan pun meningkat 21 persen, menurut Zakharova, dikutip Reuters.
3. Facebook Memerlukan Lebih Banyak Pesaing
Telantarnya miliaran pengguna platform grup Facebook menyoroti monopoli pasar oleh para pemain besar. Untuk itu, Kepala Antimonopoli Uni Eropa (UE), Margrethe Vestager, menilai raksasa internet seperti Facebook membutuhkan lebih banyak pesaing.
Melalui akun Twitter, Vestager mengatakan, “kami membutuhkan alternatif dan pilihan (lebih banyak) di pasar teknologi, tidak boleh bergantung pada beberapa pemain besar, siapa pun mereka. Itulah tujuan aturan Digital Markets Act (DMA).”
Akhir 2020, dia mengajukan draf aturan DMA yang mengatur hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Amazon, Apple, Facebook, dan Google. Pada dasarnya, itu bertujuan mendesak perusahaan teknologi raksasa mengubah model bisnis utama sehingga akan melahirkan persaingan yang lebih sehat.
Kini, anggota parlemen dan negara-negara UE tengah mendiskusikan rancangan aturan DMA. Sebelum diberlakukan, mereka perlu merekonsiliasi ketiga rancangan aturan tersebut.