Klaim Diagnosis Diklaim Lebih Jitu, AI Microsoft Tantang Peran Dokter

Jakarta, FORTUNE - Microsoft mengklaim sistem kecerdasan buatan (AI) terbarunya mampu mendiagnosis penyakit dengan akurasi empat kali lipat dibandingkan dokter manusia, sekaligus menekan biaya pemeriksaan hingga 20 persen. Teknologi ini dinilai sebagai lompatan besar menuju era medical superintelligence.
“Microsoft telah mengambil langkah nyata menuju medical superintelligence,” kata Mustafa Suleyman, CEO divisi AI Microsoft, yang sebelumnya menjabat sebagai eksekutif AI di Google, mengutip blog resmi Microsoft (30/6).
Sistem tersebut diberi nama MAI Diagnostic Orchestrator (MAI-DxO) dan dikembangkan dengan pendekatan kolaboratif antarmodel AI, termasuk GPT dari OpenAI, Gemini milik Google, Claude dari Anthropic, LLaMA dari Meta, dan Grok dari xAI. Proyek ini juga melibatkan sejumlah peneliti yang direkrut dari Google.
Untuk menguji keandalannya, tim Microsoft mengembangkan tolok ukur baru bernama Sequential Diagnosis Benchmark menggunakan 304 studi kasus dari New England Journal of Medicine. MAI-DxO dirancang untuk meniru proses berpikir dokter, mulai dari analisis gejala hingga keputusan pengujian medis secara bertahap.
Hasilnya, MAI-DxO mencetak tingkat akurasi 80 persen, jauh mengungguli 20 persen dari panel dokter manusia yang dilibatkan. Sistem ini juga memilih prosedur yang lebih hemat biaya, menunjukkan potensi efisiensi dalam sistem layanan kesehatan. “Orchestration mechanism—agen-agen AI yang bekerja dalam gaya perdebatan berantai—adalah pendekatan yang akan mendekatkan kita pada medical superintelligence,” ujar Suleyman.
Walau penggunaan AI dalam layanan medis bukan hal baru, pendekatan MAI-DxO dianggap lebih realistis karena meniru praktik klinis secara langsung. Microsoft menyebut sistem ini sebagai fondasi untuk teknologi AI diagnosis yang lebih canggih dan hemat biaya di masa depan.
Menurut Dominic King, Wakil Presiden Microsoft yang terlibat dalam proyek ini, sistem tersebut dirancang tidak hanya untuk akurasi, tetapi juga efisiensi ekonomi. “Model kami sangat efisien, baik dalam mencapai diagnosis maupun dalam melakukannya secara hemat biaya,” katanya.
Meski belum diputuskan apakah akan dikomersialisasi, sistem ini disebut berpotensi diintegrasikan ke dalam Bing untuk membantu pengguna mengenali gejala penyakit. Selain itu, Microsoft membuka peluang pengembangan alat bantu medis berbasis AI untuk profesional kesehatan.
Namun, para ahli mengingatkan agar temuan ini harus ditanggapi secara hati-hati. David Sontag dari MIT menyebut bahwa dokter dalam studi tersebut tidak diperbolehkan menggunakan alat bantu lain, sehingga kondisi eksperimen belum sepenuhnya mencerminkan praktik klinis nyata.
“Ini cukup menjanjikan,” kata Sontag, pendiri startup AI medis Layer Health. “Tapi validasi dalam uji klinis nyata tetap diperlukan.”
Hal senada disampaikan Eric Topol dari Scripps Research Institute. “Laporan ini mengesankan karena AI berhasil menangani diagnosis kasus kompleks,” katanya. Namun, ia menekankan perlunya pengujian lanjutan untuk memastikan efektivitas dan efisiensi biaya di dunia nyata.