Pasar Ponsel Menyusut pada Akhir 2022, Terburuk dalam Satu Dekade
Samsung dan Apple jadi penguasa pasar ponsel.
Jakarta, FORTUNE – Kinerja pasar ponsel global pada 2022 turun tajam ketimbang tahun sebelumnya. Firma riset Canalyst menyatakan industri barang elektronik konsumen tersebut secara keseluruhan terkena dampak dari gejolak ekonomi.
Canalyst merekam pengiriman smartphone di seluruh dunia pada kuartal keempat tahun lalu turun 17 persen daripada periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Bahkan, kinerja kuartalan tersebut dianggap yang terburuk dalam satu dasawarsa terakhir.
Sedangkan, pengiriman ponsel pintar pada 2022 terkoreksi 11 persen dalam setahun menjadi 1,2 miliar unit.
“Hasil tersebut mencerminkan tahun yang sangat menantang bagi semua vendor smartphone,” kata analis riset Canalyst, Runar Bjørhovde. Menurutnya, kinerja pasar ponsel pada Q4-2022 sangat kontras dengan periode sama tahun sebelumnya yang mengalami lonjakan permintaan serta pasokan memadai.
Menurut Canalyst, permintaan ponsel dari kelas menengah bawah pada Oktober–Desember tahun lalu mengalami penurunan tajam. Pada saat bersamaan, permintaan smartphone dari kelas atas mulai melandai.
Samsung merajai pasar ponsel dunia pada 2022 dengan pangsa 22 persen, dan Apple harus puas pada posisi kedua karena hanya menangkap pangsa 19 persen. Xiaomi menyusul setelahnya dengan 13 persen, serta OPPO dan vivo masing-masing mendapat 9 persen.
Proyeksi 2023
Menurut analis riset Canalyst, Le Xuan Chiew, produsen smartphone tahun ini agaknya akan lebih berhati-hati, memprioritaskan profitabilitas, serta berupaya melindungi pangsa pasarnya.
“Vendor memotong biaya untuk beradaptasi dengan realitas pasar baru. Membangun kemitraan yang kuat dengan saluran [penjualan] akan menjadi penting untuk melindungi pangsa pasar,” katanya.
Canalyst memperkirakan perlambatan pasar ponsel pintar tahun ini bakal selaras dengan kondisi makro yang diperkirakan tetap sulit. Meski tekanan inflasi akan berangsur-angsur mereda, efek kenaikan suku bunga, perlambatan ekonomi, dan pasar tenaga kerja yang semakin seret akan membatasi potensi pasar.
Kondisi tersebut akan berdampak buruk pada pasar dengan persaingan yang ketat serta didominasi oleh kelas menengah atas, seperti Eropa Barat dan Amerika Utara.
Sementara itu, pembukaan kembali Cina akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan bisnis domestik. Meski demikian, tingkat permintaan di negara tersebut diperkirakan masih menantang dalam jangka pendek meski ada stimulus dari pemerintah.
“Beberapa kawasan kemungkinan akan tumbuh pada paruh kedua tahun 2023, dengan Asia Tenggara khususnya diperkirakan akan mengalami pemulihan ekonomi. Kebangkitan pariwisata di Tiongkok akan membantu mendorong aktivitas bisnis wilayah tersebut,” ujarnya.