Soal Ancaman Denda & Pidana Bagi Media Sosial, Ini Respons Kominfo
Aturan baru dikhawatirkan mengancam kebebasan berekspresi.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah menyusun peraturan baru yang lebih ketat bagi platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan lain-lain.
Melalui undang-undang baru tersebut, begitu laporan Reuters, Kamis (24/3), perusahaan media sosial dapat dikenai denda atau sanksi pidana. Acuan UU baru itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Elektronik (PSTE).
Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika sekaligus Staf Khusus Menkominfo bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi, angkat bicara soal pemberitaan tersebut. Menurutnya, peraturan yang disinggung dalam laporan tersebut bukan merupakan bentuk revisi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta perubahannya.
“Melainkan penyusunan peraturan pelaksana dari UU ITE yang sudah disahkan sejak tahun 2008 dan direvisi pada 2016,” katanya kepada Fortune Indonesia, Jumat (25/3).
Nantinya, peraturan baru tersebut bakal memungkinkan negara untuk meminta platform medsos menghapus konten yang dianggap melanggar hukum. Bahkan, platform diminta menghapus konten hanya dalam waktu 4 jam jika permintaan “mendesak”. Permintaan lain yang datang dari lembaga pemerintah pun harus dipenuhi dalam waktu 24 jam.
Keenam sumber baik dari perusahaan maupun pemerintah ini menolak disebutkan namanya karena pembicaraan bersifat rahasia, menurut Reuters.
Niatan pemerintah untuk membuat aturan yang lebih keras ini datang sebagai respons atas membanjirnya konten internet yang melanggar hukum, seperti penipuan, hoaks, dan disinformasi politik. "Kami membutuhkan tindakan tegas sekarang karena pemerintah telah dikritik dan dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya," kata seorang pejabat pemerintah.
Klausul denda dan pidana
Sumber pejabat pemerintahan mengatakan kepada perusahaan internet bahwa ihwal permintaan “mendesak” ini terutama meliputi konten yang sensitif, seperti keamanan, terorisme dan ketertiban umum, serta perlindungan anak,
Skema sanksinya sebagai berikut. Setelah menerima keluhan secara resmi, perusahaan akan didenda per item konten, dan nominalnya akan meningkat jika konten bertahan lebih lama di platform.
Jika platform gagal memenuhi permintaan di banyak kesempatan, maka terdapat kemungkinan layanannya diblokir di Indonesia, dan staf mereka menghadapi sanksi pidana.
Peraturan tersebut akan berlaku untuk semua platform internet dan digital yang ditetapkan sebagai "operator sistem internet", mulai dari raksasa media sosial hingga e-commerce dan financial technology atau fintech serta perusahaan telekomunikasi.
Menurut Dedy, kementeriannya dan Kementerian Keuangan memang sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kominfo (RPP PNPB). Salah satu muatan dalam RPP PNBP tersebut adalah ketentuan nilai denda yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran pada UU ITE dan PP No. 71 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
Penyusunan RPP PNBP merupakan amanat dari UU ITE dan PP PSTE, kata Dedy. Peraturan tersebut telah mengatur pengenaan sanksi administratif berupa denda apabila suatu penyelenggara sistem elektronik termasuk platform internet tidak memenuhi kewajiban yang berlaku. “Sesuai sifatnya yang mengatur sanksi administratif, RPP PNBP tidak mengatur pengenaan ketentuan pidana. Adapun untuk pengaturan ketentuan pidana tetap merujuk pada UU ITE,” ujarnya.
Sementara itu, tiga sumber perusahaan medsos mengatakan mereka khawatir kemungkinan penjangkauan pemerintah terhadap konten daring. Menurut mereka, bisa jadi ada definisi yang tak spesifik dan jelas mengenai konten-konten dimaksud, misalnya, terorisme.
"Banyak isu tentang kebebasan berekspresi akan muncul,” katanya. Lima perusahaan yang terlibat pembicaraan juga menyebutkan bahwa mereka tidak memiliki cukup staf untuk memenuhi permintaan pemerintah tepat waktu. Proses banding atas kasus-kasus tersebut juga bekum jelas. Dua sumber bahkan mengatakan itu bisa mendorong "penyensoran berlebihan".