5 Whistleblower Perusahaan Teknologi, Bukan Hanya dari Facebook
Ada Google, Pinterest, hingga Amazon.
Jakarta, FORTUNE - Facebook merugikan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi—begitulah citra Facebook di mata eks manajer produknya yang bernama Frances Haugen. Tak ayal, berbagai kritik terlontar dari perempuan itu, ditujukan untuk platform serta para petingginya.
Menurut Haugen, Facebook membahayakan kesehatan mental anak-anak perempuan. Bahkan, dia juga mempersoalkan kendali luas Mark Zuckerberg atas perusahaan.
“Para eksekutif tahu bagaimana cara membuat Facebook dan Instagram lebih aman (bagi semua kalangan), tetapi tak akan membuat perubahan lanjutan karena mereka mengutamakan keuntungan di atas kepentingan masyarakat,” katanya, dikutip CBS News, Rabu (13/10).
Sisi kritisnya membuatnya membocorkan dokumen internal Facebook kepada Kongres Amerika Serikat (AS) dan The Wall Street Journal. Langkah itu mengubahnya menjadi whistleblower yang mengorek sisi gelap raksasa teknologi, bergabung dengan deretan mantan karyawan lain mengambil keputusan serupa lebih dulu.
Mengutip The Guardian, berikut 5 whistleblower perusahaan teknologi selain Haugen. Simak baik-baik ulasannya.
1. Chelsey Glasson (Google)
Perempuan bernama Chelsey Glasson minggat dari Google pada 2019 dan mengajukan dugaan diskriminasi kehamilan dan balas dendam setahun setelahnya. Persidangan bertahun-tahun terhadap perusahaan bernilai miliaran dolar AS itu terasa seperti pekerjaan paruh waktu bagi ibu dua anak tersebut.
Setelah pergi dari Google, dia bekerja di Facebook. Belum lama dia menyandang status karyawan di sana, Google telah memanggil paksa dirinya ke pengadilan dengan dalih membocorkan catatan karyawannya kepada Departemen Hukum Facebook.
Sejak saat itu, menurut Glasson, Google telah mengobok-obok kehidupan pribadinya. “Orang-orang tak mengerti, saat Anda mengajukan gugatan sebagai penggugat, itu membuat kehidupanmu seolah hanya pajangan."
Pada 2020, Glasson memutuskan bekerja sama dengan senator Washington, Karen Keizer, untuk mendorong RUU yang memperpanjang waktu seseorang dalam mengajukan klaim diskriminasi kehamilan—dari enam bulan menjadi satu tahun.
Google enggan menanggapi kisah tersebut.
2. Timnit Gebru (Google)
Timnit Gebru tak menyarankan siapa pun untuk menjadi whistleblower, mengingat betapa minim perlindungan yang dia terima ketika melakukan itu.
Pemimpin ternama penelitian etika kecerdasan buatan (AI) itu digulingkan dari Google akibat menolak menarik kembali makalah penelitian mengenai kejatuhan jenis perangkat lunak AI penggerak mesin pencari raksasa itu.
Berbulan-bulan setelah itu, dia dihujani oleh serangan penghinaan dan pelecehan bernada misoginis, serta kebencian penuh rasisme. Bahkan, dia juga menjadi target kampanye pelecehan daring oleh banyak akun anonim. Kepala Penelitian Google, Jeff Dean tak segan-segan menyebut kualitas makalahnya di bawah standar.
Terlepas dari kemenangan yang dia raih berkat bantuan banyak pihak dan keberaniannya, menurutnya itu tak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi.
3. Aerica Shimizu Banks (Pinterest)
Setelah terang-terangan berbicara tentang kesenjangan gaji gender dan ras di Pinterest, Aerica Shimizu Banks berpikir tak akan bisa bekerja di perusahaan teknologi lagi. Dia keluar dari perusahaan itu pada Mei 2020 karena bayaran rendah dan dugaan kasus diskriminasi rasial. Pinterest menyelidiki kasus itu, tetapi mengklaim tak menemukan kesalahan.
Meski puas dengan keputusan yang diambil, Banks frustrasi karena hanya ada sedikit perubahan di industri. “Ada begitu banyak orang yang bertanggung jawab atas rasisme dan seksisme yang saya alami di sana (Pinterest). Namun sangat sedikit dari orang-orang itu yang diganjar tindakan tegas,” ujarnya.
4. Laurence Berland (Google)
Setelah bertahun-tahun jadi aktivis karyawan internal, Laurence Berland harus kehilangan pekerjaannya di Google. Dia merasa yang menimpanya tidak masuk di akal.
Untuk jenis gerakan internal yang dia lakukan—termasuk petisi terhadap kontrak perusahaan dengan Badan Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS—menurutnya tak logis jika namanya disorot di hadapan publik. “Saya tak pernah ingin menjadi figur publik,” katanya.
Google menyatakan, Berland dan beberapa rekannya dipecat karena melanggar kebijakan perusahaan; seperti mengakses dan mendistribusikan dokumen yang tak mereka miliki izinnya. Para mantan karyawan mengklaim di-PHK akibat aktivitas mereka selama bertahun-tahun.
Kini, Berland telah memiliki pengacara dan giat mengembangkan kegiatan aktivismenya bersama orang-orang bervisi serupa. Meski dia tak bermaksud menjadi whistleblower secara terang-terangan, hak istimewa yang dia punya dapat membantu orang-orang yang menghadapi risiko serupa.
“Jika Anda tak mampu membayar sewa bulan depan tanpa gaji, apa yang mendorong Anda mengambil risiko tersebut?” jelasnya.
5. Emily Cunningham (Amazon)
Emily Cunningham menuntut Amazon untuk bertanggung jawab terhadap krisis iklim dan memihak para pekerja gudang raksasa teknologi tersebut.
Dia dipecat oleh Amazon pada 2020 setelah membantu mengatur resolusi pemegang saham dan terlibat dalam aktivisme karyawan untuk mengurangi dampaknya terhadap perubahan iklim. Antusiasmenya berlanjut berkat kemenangannya melawan perusahaan baru-baru ini.
Dia menuduh Amazon memecatnya sebagai pembalasan atas aktivisme mereka sehingga tengah menyiapkan pertempuran panjang versus perusahaan. Di sisi lain, Amazon setuju untuk membayarkan kembali upah mereka. Bahkan, perusahaan itu membuat pengumuman berbunyi, “kami tak dibolehkan memecat pekerja karena aktivisme mereka.”