Jakarta, FORTUNE – CEO Nike, John Donahoe, harus bekerja lebih keras di bawah tekanan Inovasi, menyusul turunnya Kapitalisasi Pasar produsen alas kaki ini sebesarUS$24 miliar atau sekitar Rp392,43 triliun (kurs Rp16.351,17 per dolar AS) pada akhir pekan lalu.
Saham Nike turun 18 persen pada hari Jumat (28/6) setelah perusahaan memperkirakan pendapatannya akan turun satu digit pada pertengahan tahun ini. “Jadi tekanan terhadap CEO Nike John Donahoe di tengah upayanya memulihkan budaya inovasi perusahaan,” seperti dikutip dari Fortune.com, Kamis (4/7).
Hal ini kian memberatkan karena Nike masih berjuang mengimbangi para pesaing baru yang lebih gesit, seperti Deckers' Hoka, On Running, Alo, Vuori, dan New Balance. Jenama-jenama ini diketahui telah menggerus pangsa pasar Nike di kategori-kategori utama, seperti apparel dan perlengkapan lari.
Donahoe yang menjadi CEO Nike pada 2020, mengakui bahwa irama inovasi Nike telah berkurang, di tengah maraknya tren work from anywhere. CEO tersebut mengakui bahwa Nike telah kehilangan ‘keunggulan’ dalam olahraga dan harus membangun kembali ‘jalur inovasi’ yang disruptif.
Dalam beberapa tahun terakhir, Nike telah mengalihkan fokusnya dari alas kaki mutakhir untuk atlet yang serius ke pakaian dan sepatu gaya hidup. Para eksekutif Nike menyalahkan sebagian perlambatan yang terjadi disebabkan oleh varian produk lifestyle, termasuk Air Force 1 dan Dunk.
Pergeseran strategis ini membuka peluang bagi jenama-jenama baru untuk masuk, dan juga memberikan lebih banyak ruang bagi jenama seperti Brooks, Hoka, dan New Balance, untuk memasuki pasar pelari yang serius. Tahun lalu, pendapatan New Balance naik 23 persen, sedangkan penjualan Hoka naik 14 persen.
Pandangan ahli
Analis dari TD Cowen, John Kernan, mengungkapkan bahwa Nike terlalu mengandalkan model lama dan tidak menghasilkan produk baru seperti di masa lalu. “Nike harus punya tujuan untuk mempercepat siklus inovasi dalam memasukkan kinerja yang relevan serta gaya hidup baru ke pasar, dan menjadi organisasi yang lebih gesit,” katanya kepada Fortune.com.
Ia menilai, Nike saat ini mengalami banyak masalah karena kesalahan yang dilakukan Donahoe, seperti penekanan berlebihan pada produk gaya hidup sehingga merugikan item yang berfokus pada kinerja, serta keluar dari sepertiga mitra ritelnya dalam beberapa tahun terakhir, termasuk menjual lebih sedikit barang dagangan ke jaringan seperti Foot Locker, Macy's, dan DSW.
Kernan menilai, Nike terlalu berani bertaruh mereka dapat menjual barang dengan lebih efisien dan menguntungkan melalui toko dan situs webnya sendiri. “Booming online selama pandemi tampaknya telah menipu Donahoe untuk percaya bahwa e-commerce akan menggantikan mitra ritel secara permanen, namun hal tersebut tidak berjalan dengan baik, dan Nike telah mengalihkan sebagian fokusnya kembali ke pengecer,” kata Kernan.
Donahoe awalnya dipekerjakan untuk mengubah Nike menjadi perusahaan teknologi, dengan e-commerce dan aplikasi sebagai pusat strateginya. Namun pada akhirnya, Nike hanya bisa sukses jika menghasilkan produk yang melampaui batas, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat.
Sementara, analis Bloomberg Intelligence, Poonam Goyal, mengungkapkan bahwa tantangan besar Donahoe yang harus jadi prioritas utamanya adalah memulihkan kembali budaya inovasi di Nike, yang sudah jadi kunci suksesnya selama puluhan tahun. “Raksasa produsen pakaian olahraga ini mungkin akan menolak pembeli karena kurangnya produk baru,” katanya.