Jakarta, FORTUNE – Menanggapi sejumlah brand otomotif baru yang siap memasuki pasar Indonesia dalam waktu dekat, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengatakan kinerja penjualan kendaraan bermotor yang cenderung turun pada kuartal I-2024 takkan mempengaruhinya.
Menurutnya, masuknya merek baru dan penurunan kinerja adalah dua hal berbeda. Pasalnya, indikasi penurunan pada Q1 itu telah diperkirakan sejak September 2023.
“[Penurunan] utamanya [terjadi] karena The Fed yang menaikkan interest rate, yang menyebabkan adanya peningkatan non-performing loan (NPL) yang berimbas pada menurunya penjualan,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (3/6).
Di sisi lain, dia memandang daya beli konsumen indonesia sebenarnya cukup baik, dan karenanya menjadi daya tarik tersendiri bagi para brand.
“Ini sebenarnya menunjukkan potensi pasar otomotif di Indonesia sangat besar,” kata Kukuh.
Pada semester dua nanti, dia percaya peningkatan penjualan kendaraan seharusnya mulai terlihat. Namun, dia mengingatkan bahwa suku bunga Fed belum juga turun, dan nilai tukar rupiah masih fluktuatif.
“Kalau dari daya beli masyarakat seharusnya positif. Masuknya merek baru jadi pilihan Mobil baru yang harganya terjangkau dan kualitasnya cukup baik. Pasti bisa diterima di mana-mana,” katanya.
Pernyataan dia merupakan tanggapan atas masuknya beberapa merek otomotif, seperti BYD, Neta, hingga Vinfast. Selain itu, ada pula sejumlah nama baru otomotif dari pabrikan Cina yang akan menyusul masuk Indonesia pada pertengahan 2024 nanti—debut di GIIAS 2024—yakni BAIC, GAC Aion, dan Jetour.
Peluang
Mengenai aturan baru pemerintah yang memberi kelonggaran pada jenama asing untuk memasukkan produknya ke Indonesia, Kukuh berpendapat bahwa hal tersebut bakal menjadi peluang yang baik dan berpotensi untuk bisa meningkatkan kinerja industri otomotif. Terutama dalam kaitannya dengan mobil-mobil Cina yang dinilainya cukup agresif dan telah mulai melakukan perakitan di Indonesia.
“Ini ada komitmen, misalnya, mereka mendatangkan 1.000 unit. Mereka juga harus membuat 1.000 unit di dalam negeri. Nah, ini bagus buat industri juga. Di sisi lain juga memberikan alternatif, ada mobil Cina, Korea, Jepang, silahkan pilih sendiri. Kemudian, ada ICE, Hybrid, EV juga,” kata Kukuh menyebut sistem kendaraan dengan pembakaran (ICE), hybrid yang memiliki penggerak BBM dan listrik, serta mobil listrik (EV).
Sebab lain
Selain kenaikan suku bunga Fed, Kukuh menjelaskan terdapat sebab lain yang memicu penurunan kinerja otomotif pada kuartal I-2024, seperti aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melindungi konsumen dari sistem penagihan yang kurang baik pada Desember. Aturan itu menyebabkan para pemberi kredit memperketat syarat akuisisi kendaraan, dan kembali menurunkan pembelian hingga awal 2024.
Hal ini terus berlanjut dengan adanya Pemilu, puasa, dan libur Lebaran.
“Penjualan itu selalu turun sampai 30 persen di masa Lebaran. Ini pun masih dihajar lagi dengan adanya hari libur yang makin banyak, plus cuti bersama. Jadi, hari kerja sedikit, kesempatan untuk jualan pun makin sedikit. Penjualan kendaraan turun dan sampai saat ini belum recover,” ujar Kukuh.
Berdasarkan data Gaikindo, Penjualan mobil domestik mengalami penurunan pada kuartal I-2024 bila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Penjualan mobil wholesales mencapai 215.069 unit pada kuartal I-2024, turun 23,9 persen dari 282.601 unit secara year-on-year (YoY).
Sementara, penjualan secara retail mencapai 230.778 unit pada kuartal I-2024, atau turun 15 persen dari 271.423 unit pada periode kuartal I-2023.
Wait and see
Pendapat yang agak berbeda datang dari CEO PT Mobil Anak Bangsa, Kelik Irwantono, yang melihat bahwa penurunan penjualan pada kuartal I-2024 disebabkan oleh sikap konsumen yang masih ‘wait and see’ dengan sistem penjualan merek-merek baru yang baru masuk dan didominasi varian elektrik (EV).
“Yang ditunggu pemain-pemain besar listrik, seperti BYD atau GWM. Dari sisi appetite sudah ada, tapi masalahnya di suplai. Misalnya di BYD, orang yang ingin beli banyak, tapi karena pengirimannya mundur, orang jadi menahan untuk beli lagi,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (3/6).
Menurutnya, orang Indonesia terbiasa dengan barang yang sudah ready seketika setelah transaksi terjadi.
“Yang diharapkan berarti pasokannya. Itu yang belum kuat di sini. Kecuali yang udah ada pabrik, seperti Wuling atau Hyundai. Tapi, yang belum punya pabrik, justru orang jadi makin penasaran [tanpa melakukan pembelian dulu],” kata Kelik.
Meski begitu, ia tetap optimistis bahwa pada semester II-2024 kinerja penjualan akan makin meningkat, karena sudah banyak pemilik Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) yang akhirnya menerima pengiriman pesanannya.
“Kalau sudah banyak yang menerima produknya, otomatis akan berkontribusi pada peningkatan sales dibandingkan semester satu. Ini yang akan menentukan bagaimana penjualan di tahun selanjutnya di semester dua ini, karena ada sebagian besar orang yang mau beralih ke listrik, setelah mendengarkan experience dari orang lain,” ujar Kelik.