Industri Influencer Mulai Jajaki Peluang di Era Teknologi AI

Masih menyimpan tantangan yang perlu disikapi bijak.

Industri Influencer Mulai Jajaki Peluang di Era Teknologi AI
Sosok metahuman Genexyz, Lav_Caca, menyambut pengunjung di instalasi Wonderlab. (Fortuneidn/Bayu)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Industri pemengaruh atau Influencer di Indonesia sedang memasuki babak baru berbalut kecanggihan Teknologi AI (Artificial Intelligence). Sejumlah pelaku industri mulai bergerak dan menjalankan inovasinya, menghadirkan sebuah peluang baru di sektor ekonomi kreatif Tanah Air.

Co-founder sekaligus CEO Genexyz, Belinda Luis, mengatakan bahwa bisnis yang dia jalankan sebenarnya mirip dengan talent management agency. Namun, bedanya produk yang ditawarkan adalah influencer virtual dalam rupa karakter tiga dimensi.

“Di perusahaan kami itu ada dua lini bisnis, Business to Consumer (B2C)—seperti Lav_Caca—dan Business to Business (B2B), yang lebih ke karakter virtual untuk jenama-jenama besar, seperti BCA, First Media, atau Telkomsel,” katanya kepada Fortune Indonesia, Selasa (16/7).

Ia mengungkapkan bahwa proses pembuatan dan penentuan karakter ini memakan waktu kira-kira sebulan. Namun, perusahaan biasanya memberikan kelonggaran hingga tiga bulan untuk mengakomodasi berbagai penyesuaian dan uji coba sampai akhirnya suatu karakter siap ditawarkan kepada klien untuk bekerja sama mempopulerkan berbagai jenama. Bagi karakter yang ditujukan untuk kepentingan B2B, prosedurnya sedikit berbeda dengan waktu relatif lebih lama, karena adanya diskusi mendalam dengan klien.

“Kalau ChatGPT cuma text-based. Nah, kalau metahuman ini kami harus menerapkan jahitan coding, sistem, dan engineering. Jadi, saat karakter tersebut menjawab, antara suara dan raut muka bisa sejalan,” ujar Belinda. “Saat ini metahuman masih belum sealami manusia, tapi mungkin 10 tahun ke depan bisa.”

Lebih mahal

Ilustrasi Artificial Intelligence. (Pixabay/geralt)

Untuk urusan tarif, Belinda mengatakan bahwa Lav_Caca yang merupakan proyek percontohan influencer AI binaan Genexyz, punya harga yang cukup bersaing dengan influencer manusia, meski belum bisa dibilang lebih murah dengan jumlah pengikut yang tidak jauh berbeda.

 “Lebih mahal karena memang Lav_Caca menggunakan teknologi metahuman yang cukup canggih. You pay premium for something that’s different compared to human,” katanya. “Kalau (posting) statis saja sekarang KOL kurang lebih ada di kisaran Rp2 juta–Rp5 juta per unggahan. Caca juga kurang lebih seperti itu.”

Dalam situasi pasar yang menunjukkan peningkatan daya tarik besar pada karakter virtual, Genexyz pun merilis karakter Lav_Caca. Kemudian, pada 2023 perusahaan itu mendapatkan suntikan dana awal sampai US$1 juta atau sekitar Rp14 miliar dengan nilai rupiah kala itu, dari sejumlah investor yang dipimpin oleh East Ventures—bersama Emtek, Trinity Optima, Massive Music, MDI, dan Future Creative Network.

“Komponen investasi paling besar itu adalah sumber daya manusia (SDM). Walaupun kami mencari talenta yang masih muda, tapi kami harus dapat yang memang layak, ada latar belakang, mengerti coding sekaligus 3D,” ujar Belinda.

Tantangan

Ilustrasi AI Generatof/Dok. Google

Sementara itu, kreator influencer AI dari Imagine8 Studio, Aldo, mengatakan bahwa a tantangan terbesar yang dihadapi Imagine8 adalah persoalan pembuatan konsep yang bisa membuat produk influencer AI yang bernama Lentari, seolah benar-benar hidup. “Kami ingin membuat influencer yang memang terlihat riil dan bisa berinteraksi dengan manusia,” ujarnya.

Menurutnya, prospek bisnis pada bidang ini ke depannya akan semakin besar, walau saat ini jumlah influencer AI masih terbatas. “Tapi ini bukan soal jumlah, melainkan tentang bagaimana kita bisa membawa sebuah karakter yang pembawaannya dicintai oleh masyarakat. Konsistensi itu penting agar yang kita kerjakan tidak berubah dan bisa terus up to date dengan teknologi yang ada,” katanya.

Tantangan lain diungkapkan oleh Vice President Indonesia Creators Economy (ICE), Hana Novitriani, yang mengatakan bahwa konsistensi dari influencer AI, justru akan jadi kelemahannya saat harus bersaing dengan influencer manusia. “Misalnya, seorang beauty creator dituntut untuk memiliki wajah bagus saat menggunakan make up, tapi nyatanya ada hari di mana dia tampil dengan wajah yang kurang fresh atau misalnya lagi bad hair day,” ujarnya kepada Fortune Indonesia.

Sementara itu, mungkin saja influencer AI dibuat seolah tidak konsisten, namun hal ini tentu akan membuat pekerjaan tambahan bagi pengembangnya untuk memikirkan inkonsistensi yang beragam di beberapa penampilan influencer AI tersebut.

Kisah lengkap influencer AI ini bisa Anda temukan di majalah Fortune Indonesia edisi Juli 2024. 

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024