MenkopUKM: RI Berkaca pada Cina Soal Pengetatan Aturan Social Commerce

Praktik social commerce membahayakan perdagangan digital.

MenkopUKM: RI Berkaca pada Cina Soal Pengetatan Aturan Social Commerce
Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR-RI terkait pengaturan e-commerce, Selasa (12/9). (Dok. Kemenkop UKM)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM), Teten Masduki, mengatakan Indonesia mengacu pada Cina dalam mengatur transformasi digital, khususnya terkait  fenomena monopoli perdagangan melalui platform social commerce.

Menteri Teten, mengungkapkan Cina telah memiliki aturan Anti Trust Guidelines for Platform Economy dan Anti-Monopoly Regulation of Digital Platform, yang melarang monopoli lewat penggunaan data, algoritma, dan teknologi.

“Tiktok di Cina namanya Douyin, tapi hanya konten lokal yang bisa masuk ke sana. Pintu mereka ditutup rapat-rapat untuk produk dari luar Cina, dan untuk berbisnis di Douyin, harus mempunyai business license Cina atau bermitra dengan agensi lokal,” ujarnya dalam keterangan, Selasa (3/9).

Selain itu, Cina juga baru mau membuka jalan bagi investasi asing saat platform domestik sudah mulai berkembang. Hal ini dibatasi dengan kehadiran Great Firewall atau sensor yang ketat, serta penerapan Cyberscurity Law.

Negara lain

ilustrasi TikTok (unsplash.com/Solen Feyissa)

Sejumlah negara lain juga menerapkan pembatasan dan pengetatan regulasi bagi kehadiran model bisnis baru social commerce seperti yang dilakukan oleh TikTok Shop. Dengan demikian, hal yang wajar jika platform media sosial dan e-commerce tak dapat disatukan. 

Salah satu negara yang memberlakukan pengetatan ini adalah Uni Eropa, melalui Digital Service Act. “Mengatur secara hukum atas konten yang diunggah di platform tersebut. Aturan ini juga menerapkan cara untuk mencegah dan menghapus unggahan yang berisi barang, layanan, atau konten ilegal,” ujarnya.

Bahkan, platform media sosial  harus memberikan lebih banyak transparansi tentang cara kerja algoritma mereka kepada Uni Eropa. Adapun negara lain yang melarang TikTok secara parsial, antara lain adalah Taiwan, Kanada, Denmark, Australia, Inggris, Prancis, Estonia, Selandia Baru, Norwegia, dan Belgia.

Sementara itu, Amerika Serikat (AS), memiliki Restrict Act yang diusulkan pada Maret 2023 yang memungkinkan pemblokiran TikTok secara nasional, bila dianggap berisiko dan menjadi ancaman keamanan nasional. “Di India, mereka sudah melarang TikTok dab 58 aplikasi lain dari Cina dengan alasan geopolitik,” katanya.

Bahaya social commerce

Staf Khusus MenkopUKM, Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari. (dok. KemenkopUKM)

Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan Permendag No.31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Salah satu yang dibahas dalam regulasi ini adalah pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce.

“PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya,” begitu bunyi Pasal 21 ayat (3) Permendag yang merupakan revisi dari Permendag No.50/2020 ini.

Staf Khusus MenkopUKM, Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari, menjelaskan setidaknya ada empat bahaya yang bisa terjadi akibat operasional social commerce.

Pertama, terjadinya monopoli pasar; lalu upaya manipulasi algoritma; ketiga, kemungkinan platfotm memanfaatkan traffic yang berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat dalam perdagangan digital; serta masalah perlindungan data.

“Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan–social commerce,” kata Fiki.

Sudah seharusnya

Direktur Celios, Bhima Yudhistira. (Tangkapan layar)

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, pemisahan usaha yang dilakukan TikTok diperlukan, salah satunya untuk menjaga keamanan data. Penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda.

Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih. "Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," ujarnya seperti dikutip dari laman resmi KemenkopUKM, Rabu (4/10).

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024