Jakarta, FORTUNE – Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM), Teten Masduki, mengatakan Indonesia mengacu pada Cina dalam mengatur transformasi digital, khususnya terkait fenomena monopoli perdagangan melalui platform social commerce.
Menteri Teten, mengungkapkan Cina telah memiliki aturan Anti Trust Guidelines for Platform Economy dan Anti-Monopoly Regulation of Digital Platform, yang melarang monopoli lewat penggunaan data, algoritma, dan teknologi.
“Tiktok di Cina namanya Douyin, tapi hanya konten lokal yang bisa masuk ke sana. Pintu mereka ditutup rapat-rapat untuk produk dari luar Cina, dan untuk berbisnis di Douyin, harus mempunyai business license Cina atau bermitra dengan agensi lokal,” ujarnya dalam keterangan, Selasa (3/9).
Selain itu, Cina juga baru mau membuka jalan bagi investasi asing saat platform domestik sudah mulai berkembang. Hal ini dibatasi dengan kehadiran Great Firewall atau sensor yang ketat, serta penerapan Cyberscurity Law.
Negara lain
Sejumlah negara lain juga menerapkan pembatasan dan pengetatan regulasi bagi kehadiran model bisnis baru social commerce seperti yang dilakukan oleh TikTok Shop. Dengan demikian, hal yang wajar jika platform media sosial dan e-commerce tak dapat disatukan.
Salah satu negara yang memberlakukan pengetatan ini adalah Uni Eropa, melalui Digital Service Act. “Mengatur secara hukum atas konten yang diunggah di platform tersebut. Aturan ini juga menerapkan cara untuk mencegah dan menghapus unggahan yang berisi barang, layanan, atau konten ilegal,” ujarnya.
Bahkan, platform media sosial harus memberikan lebih banyak transparansi tentang cara kerja algoritma mereka kepada Uni Eropa. Adapun negara lain yang melarang TikTok secara parsial, antara lain adalah Taiwan, Kanada, Denmark, Australia, Inggris, Prancis, Estonia, Selandia Baru, Norwegia, dan Belgia.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS), memiliki Restrict Act yang diusulkan pada Maret 2023 yang memungkinkan pemblokiran TikTok secara nasional, bila dianggap berisiko dan menjadi ancaman keamanan nasional. “Di India, mereka sudah melarang TikTok dab 58 aplikasi lain dari Cina dengan alasan geopolitik,” katanya.
Bahaya social commerce
Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan Permendag No.31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Salah satu yang dibahas dalam regulasi ini adalah pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce.
“PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya,” begitu bunyi Pasal 21 ayat (3) Permendag yang merupakan revisi dari Permendag No.50/2020 ini.
Staf Khusus MenkopUKM, Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari, menjelaskan setidaknya ada empat bahaya yang bisa terjadi akibat operasional social commerce.
Pertama, terjadinya monopoli pasar; lalu upaya manipulasi algoritma; ketiga, kemungkinan platfotm memanfaatkan traffic yang berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat dalam perdagangan digital; serta masalah perlindungan data.
“Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan–social commerce,” kata Fiki.
Sudah seharusnya
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, pemisahan usaha yang dilakukan TikTok diperlukan, salah satunya untuk menjaga keamanan data. Penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda.
Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih. "Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," ujarnya seperti dikutip dari laman resmi KemenkopUKM, Rabu (4/10).